Aku berdiri di balkon sembari menikmati segelas kopi hitam. Ting! Ada pesan yang masuk dari Mr X. Ia bilang kalau aku dan Mas Cakra harus memasang Kandang Jin malam ini. Lokasinya sudah ditentukan, di salah satu perempatan, di Jakarta Pusat. Bergegas aku menghubungi Mas Cakra, lalu ia mengajakku bertemu di markas.
Sekitar pukul sepuluh siang, aku pergi ke markas. Mas Cakra sudah menunggu di ruangan rahasia. Ruangan ini biasanya kami gunakan untuk rapat secara astral. Biasanya kami hanya duduk saja, sementara sukma kami saling bertemu di dunia astral untuk membicarakan rencana rahasia.
Aku membuka pintu. Mas Cakra sudah duduk di kursi. "Sebenernya aku bisa masang sendiri loh, Mas," ucapku seraya duduk.
"Mr X ngubah rencana. Dia minta kandang jin yang super besar."
"Besar? Emang dia minta berapa nyawa?"
"Sekitar 50 nyawa pertahun."
"Hah! Banyak amat!" Jujur aku terkejut mendengarnya.
"Apa Mr X gak cerita rencananya sama kamu, El?"
"Gak."
"Jadi dia pengen kita pasang beberapa kandang di satu jalan itu," jelas Mas Cakra.
"Loh bukan cuman di perempatan aja?"
"Bukan."
"Oh, terus Mas udah punya calon buat jadi pemimpin kandangnya?"
"Belum. Mr X bilang biar kamu yang cari."
"Saya gak punya calon buat kandang segede itu, Mas."
"Mr X bilang kamu kenal sama Ki Panca."
"Ya."
"Katanya coba tanyain dia."
"Hmm, oke."
Aku dan Mas Cakra duduk bersila di lantai. Kemudian tubuh astral alias sukma kami ke luar dari tubuh. Sukma kami melanglang buana ke sebuah gunung di Jawa Barat.
Kami berdiri di depan gubuk. Tak lama kemudian, pintu gubuk terbuka. Seorang kakek berpakaian serba hitam dan membawa tongkat kayu, ke luar dari dalam gubuk. Ia adalah Ki Panca. Sosok yang cukup dekat dengan kakek. "Kamu datang sendirian?" ucapnya."Berdua, Ki." Padahal Mas Cakra ada di sebelahku.
"Maksud saya, Nyi Ambar tidak ikut."
"Tidak, Ki. Dia sedang sibuk."
"Padahal saya ingin sekali berbicara dengannya. Saya dengar, tempatnya sudah dihancurkan."
"Iya. Makanya dia sekarang lagi sibuk memindahkan anak buahnya."
"Jadi, apa tujuan kalian datang ke sini?"
"Kami mau cari makhluk yang bisa jadi pemimpin kandang jin."
"Makhluk seperti apa?"
"Yang penting kuat, Ki. Soalnya kandangnya besar dan ada di tengah kota."
"Kalau mencari yang kuat itu banyak. Hanya saja sulit mencari yang mau dipindahkan ke sana. Harus ada jaminan besar, kalau tidak mereka bisa berontak."
Benar juga, kalau sampai berontak bisa bahaya. Akan memakan banyak korban dan sangat rawan ketahuan. "Berarti cari yang mau aja dulu, Ki," balasku.
"Baiklah."
Dug! Dug!
Ki Panca membenturkan tongkatnya ke tanah. Sesaat kemudian, terdengar suara burung gagak bersahutan. Ada ribuan burung gagak bermata merah berterbangan dari dalam hutan. Diikuti wanita yang sedang berjalan dengan anggunnya ke arah kami. Ia mengenakan kebaya hitam dengan renda berwarna emas, lengkap dengan kain jarik hitam. Aku bisa merasakan energi yang kuat dari sosok ini.
Ia melirikku seraya mengembangkan senyum. Kubalas senyumannya, lalu memperkenalkan diri. Namanya Dahayu, salah satu pemimpin pasukan Kuntilanak di hutan ini. Jujur, baru pertama kali melihat Kuntilanak yang memiliki bentuk sangat mirip dengan manusia. "Usianya sudah lebih dari 500 tahun," ucap Ki Panca. Sepertinya ia tau isi pikiranku.
"Lebih muda dari Nyi Ambar," balasku.
"Nyi Ambar sudah ribuan tahun."
"Iya."
"Jadi untuk apa Ki Panca memanggil saya ke sini?" tanya Dahayu.
"Anak ini ingin meminta pemimpin untuk kandang jin," balas Ki Panca.
Dahayu melirikku tajam, "Semua tergantung berapa nyawa yang kamu janjikan," balasnya. Aku bisa merasakan auranya yang begitu gelap.
"50 nyawa pertahun," balas Mas Cakra.
Dahayu menoleh pada Mas Cakra, lalu mengembangkan senyumnya. "Menarik."
"Jadi apa kamu mau?"
"Saya bersedia."
"Baiklah, nanti saya panggil kalau sudah beres," ucap Mas Cakra.
"Saya akan kumpulkan pasukan." Dahayu pamit, lalu terbang dengar cepat menuju hutan.
"Apalagi yang kamu perlukan?" tanya Ki Panca.
"Ini aja, Ki."
"Baiklah. Kamu harus berhati-hati. Jangan terlalu menunjukan diri, karena posisi kalian sedang bahaya."
"Iya, Ki."
"Anak itu juga sudah semakin besar. Sudah cukup kuat untuk melawan kalian."
"Apa Ki juga mengenal Gilang?"
Ki Panca tersenyum, "Di dunia jin, ketika ada orang yang menjadi ancaman. Maka kabarnya akan tersebar dengan cepat. Apalagi kakek kamu beberapa kali pernah cerita tentang dia."
"Apa yang kakek ceritakan?"
"Saya sudah berjanji pada kakek kamu untuk merahasiakannya."
"Baiklah." Aku tak bisa memaksanya untuk berbicara. "Saya pamit dulu, Ki."
"Saya juga pamit," ucap Mas Cakra.
Sukma kami kembali ke tubuh masing-masing. Aku menarik napas panjang, lelah rasanya. Kini harus beristirahat dulu, sebelum melakukan ritual pemasangan kandang jin nanti malam.
__________
Sekitar pukul dua belas malam, Dahayu sudah datang ke markas sembari membawa ratusan anak buahnya. "Apa lokasinya aman?" tanyanya.
"Seharusnya aman," balasku.
"Saya tidak mau ada bentrokan dengan penunggu yang ada di sana."
"Kamu tenang aja."
Kami berangkat ke lokasi. Dahayu duduk di kursi belakang dengan menggunakan wujud manusianya. Sangat cantik. Sementara Mas Cakra fokus menatap jalanan yang agak lengang. Kurang dari setengah jam kemudian, kami sudah sampai di lokasi.
Mas Cakra memarkirkan mobil di depan sebuah rumah kosong, yang berada di dekat perempatan. "Rumah ini sengaja dibeli sama Mr X untuk tempat penampungan," ucapnya.
"Hmm, oke," balasku. Mr X selalu memikirkan rencananya dengan matang.
Kami ke luar dari mobil. Mas Cakra bertugas untuk membersihkan satu area ini. Area yang cukup luas. Sebagai salah satu orang kepercayaan Mr X, ia pasti sanggup melakukannya. Sementara aku, memilih untuk melihat flashback dari tempat ini. Tanpa dipasang Kandang Jin pun, di jalan ini sudah sering terjadi kecelakaan, terutama di perempatan. Mr X sangat pintar sekali mencari lokasi.
Mas Cakra sudah berhasil mengusir jin yang menguasai area ini dibantu oleh Dahayu. "Udah, Mas?" tanyaku.
"Udah," balasnya.
Kini giliranku mengunci area ini agar tidak ada jin lain yang mengganggu. Sehingga Dahayu dan anak buahnya akan leluasa berkeliaran di sini. Kini tinggal menunggu rentetan berita kecelakaan di jalan ini.
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekte - Para Pencari Tumbal [SUDAH TERBIT]
HorrorGilang dan Alby harus menghadapi kemarahan dari Anggota Sekte, setelah kematian Pak Ryan. Baca - Ellea dan Tujuh Hari Setelah Ibu Pergi, sebelum membaca tulisan ini.