Setelah mengambil ponsel Gilang, aku kembali ke rumah. Griselle masih ada di sana menemani tubuh Gilang yang mulai kelihatan pucat. "Lu udah nelpon Ustad atau Habib yang pernah nolongin Gilang belum?" tanyanya.
"Belum," balasku.
"Astagaaaa! Dari tadi ngapain aja!"
"Saya tidak tau sandi ponsel Gilang." Ponselnya dalam keadaan terkunci, aku tak bisa sembarang memasukan nomor sandi.
"Itu Iphone, kan?"
"Iya."
"Sini!" Griselle meminta ponselnya. Kemudian ia meraih telapak tangan Gilang.
"Kamu mau apa?" tanyaku, bingung.
"Dia pasti pake sensor sidik jari." Griselle mengecek satu persatu jemari Gilang. Ponsel pun terbuka. "Nih!" Ia kembali menyerahkan ponselnya padaku.
Aku mengecek daftar kontak. Seingatku nama pamannya Gilang adalah Herman. Kuketik nama Herman di kolom pencarian kontak, lalu muncul sebuah nomor dengan nama Om Herman. Bergegas aku meneleponnya dan menjelaskan semua yang terjadi. "Apa Om bisa membawa Ustad, Kyai atau Habib yang sebelumnya pernah menolong Gilang?" tanyaku.
"Saya usahakan, tapi kalau Habib Husein dan Kyai Mustofa mereka tinggalnya jauh," balas Om Herman.
Aku ingat Gilang pernah cerita kalau Habib Husein dan Kyai Mustofa tinggal di Semarang. Jadi rasanya tak mungkin mereka bisa datang tepat waktu. "Bawa siapa saja, Om. Karena kondisi Gilang sangat mengkhawatirkan."
"Tolong kirim alamat rumahnya. Secepetnya saja pergi ke sana."
"Baik, Om."
Telepon ditutup, aku langsung mengirim lokasi rumah via WhatsaApp. Kini hanya tinggal menunggu Om Herman datang. "Tubuhnya semakin melemah," ucap Margaret yang berdiri di dekat Gilang.
"Selama rantai belum diputus Kenanga bakal terus nyedot energinya Gilang," ucap Griselle.
"Jadi kita harus gimana?" tanyaku.
"Harus terus ngisi energinya sampe bantuan dateng."
"Caranya?" Aku tak pernah melakukan hal semacam itu.
"Begini." Griselle menggenggam tangan Gilang dan menutup mata. Tak lama ia melepaskannya lagi. "Ternyata energi yang diambil Kenanga besar banget. Baru sebentar aja badan gua langsung lemes. Terus gimana ceritanya Gilang masih bisa idup."
"Dari tadi saya yang mentransfer energi untuknya," balas Kakek Abdullah.
"Kira-kira berapa lama lagi kakek bisa nahan?" tanya Griselle.
"Sekitar satu jam lagi."
"Satu jam? Sepertinya tidak cukup unuk menunggu bantuan datang," balasku.
Kakek Danu datang, "Saya bisa membantu juga," ucapnya.
"Ajak sesepuh lain, Kek." Aku rasa dengan dengan begitu waktunya akan cukup.
_______________
Dua jam berlalu, terdengar suara klakson mobil di depan rumah. Bergegas aku berjalan ke depan. Ada dua orang pria. Satu mengenakan pakaian biasa, satu lagi berpakaian seperti Ustad. Serta satu anak perempuan berembut panjang. Pasti anak itu yang bernama Aurora.
Aku pun menghampiri mereka dan memperkenalkan diri. Benar dugaanku, kalau anak cantik ini adalah Aurora. Sementara Ustad yang menemani Om Herman bernama Ustad Azzam. Setelah perkenalan singkah, kami bergegas masuk ke rumah.
"Ini siapa?" Ustad Azzam menunjuk Griselle yang sedang duduk di samping Gilang.
"Saya Griselle, temennya Gilang," sahutnya seraya bangkit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekte - Para Pencari Tumbal [SUDAH TERBIT]
HorrorGilang dan Alby harus menghadapi kemarahan dari Anggota Sekte, setelah kematian Pak Ryan. Baca - Ellea dan Tujuh Hari Setelah Ibu Pergi, sebelum membaca tulisan ini.