bab 4

262 12 2
                                    

Flashback sebelum Bima kembali ke tempat duduknya.

Perempuan paruh baya itu menatap Bima ragu, tapi dia tetap menerima jaket dan bungkusan itu.

"Di kantong ini ada minyak kayu putih dan roti. Bisa ibu pakaikan ke adiknya."

Fibri menatap terpesona.

Di saat semua temannya memuji Bima, gara-gara ketampanannya, Fibri malah lebih terpesona dengan tindakan yang dilakukan pemuda itu barusan.

Flashback end

****
   Di karenakan telat masuk kelas, dan ketinggalan pelajaran, akhirnya Fibri, dan ketika temannya terpaksa harus mengerjakan ulangan mendadak di ruang BK. Pak Diki, guru biologi tak mau menolerir walaupun alasan mereka telat terbilang masuk akal.

Dari dulu guru biologi itu memang di kenal sangat disiplin dan tegas. Di tambah lagi penampilan luar Pak Diki yang mempunyai kumis tebal dan dan berbadan besar, membuat banyak murid yang takut dan di segani.

"Parah ... parah. Alasan kita telat 'kan masuk akal. Kenapa Pak Diki tetap nggak mentolerir, sih?" gerutu Nia yang langsung mendapatkan tatapan galak Bu Inggid, guru BK yang sedang memantau mereka dari meja depan. Seketika nyali Nia menciut.

"Bu, boleh saling contek nggak?" Kali ini giliran Chika yang berusaha merayu.

Gadis itu sama sekali bebal kalau di suruh mengerjakan ulangan biologi. Belajar saja nilainya masih di bawah rata-rata, apalagi sekarang?

"Kamu pasti sudah tahu jawaban saya apa 'kan?"

Bu Inggid bangkit kemudian berjalan ke meja Chika. Membuat Chika bungkam tidak berani menawar lagi.

Sementara itu di saat yang lain kebingungan mengerjakan, Fibri terlihat lebih santai dan siap. Gadis itu bahkan sudah hampir selesai.

"Pinter kamu. Anak baru ya?" ucap Bu Inggid dari arah belakang tempat duduk Fibri. Membuat ketiga teman gadis itu menoleh.

Fibri mendongak sembari tersenyum simpul.

"Yang lain, ayo. Masa kalah sama anak baru," seru Bu Inggid yang sudah berada di depan kelas sambil memandang ketiga teman Fibri yang lain.

Dina mengacungkan tangan.

"Ya, kenapa?"

"Ibu nggak ada niat ke toilet gitu? Nggak pengen pipis atau ...,"

Bu Inggid mengacungkan penggaris ke arah Dina. Membuat gadis itu melambaikan tangan.

Ruangan itu kembali hening, semua fokus dengan kertas ulangan masing-masing.

    Setengah jam berlalu, ruangan BK itu terasa masih sama heningnya. Seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana.

Fibri yang sebenarnya sudah menyelesaikan ulangan itu dari tadi, terpaksa harus pura-pura belum selesai. Gadis itu beberapa kali menghapus jawabannya, menulis lagi, menghapus lagi, demi menunggu agar teman-temannya selesai.

Tetapi sepertinya ketiga temannya itu memang tidak dapat mengerjakan ulangan dengan lancar. Ketiganya malah sekarang saling lirik untuk meminta bantuan.

Lalu tanpa mereka duga, tiba-tiba muncul penyelamat berwujud murid perempuan berambut panjang, berwajah manis tapi jutek datang menemui Bu Inggid.

Murid itu berbicara cukup serius dengan Bu Inggid. Seperti ada kejadian darurat yang harus segera Bu Inggid tangani. Buktinya tak lama setelah gadis itu berlalu, Bu Inggid pamit keluar.

Tentu saja sebelum meninggalkan ruangan itu, guru BK tersebut berpesan agar mereka mengerjakan ulangan dengan jujur.

Keempat gadis itu tanpa berlama-lama mengiyakan ucapan Bu Inggid itu dengan serempak.

Tetapi seperti yang sudah-sudah, peraturan di buat memang kebanyakan di langgar, belum juga lima menit Bu Inggid keluar, ketiga gadis itu langsung meringsek ke bangku Fibri.

****
   Jam pulang sekolah tiba. Sudah lima belas menit yang lalu. Fibri menunggu Kakaknya yang belum juga keluar.

"Pak, aku turun dulu ya. Nunggu di bangku sana," pamit Fibri pada Pak Aji, sopir keluarga mereka.

"Baik, Mbak."

Dengan langkah cepat karena hari ini begitu terik, Fibri menuju bangku panjang yang berada persis di depan sekolah kakaknya.

Baru saja gadis itu duduk, tiba-tiba saja dia melihat ada seseorang berdiri di hadapannya.

Fibri mendongak. Tubuh gadis itu membeku tatkala menyadari siapa yang kini berada di hadapannya.

Bima. Pemuda yang sukses membuat Fibri terpesona pagi itu.

"Lagi nunggu siapa?" sapa Bima pelan.

Jantung Fibri rasanya berdebar kencang dari biasanya.

"Hai! Kamu anak SMP sebelah'kan?"

Sapaan kedua pemuda itu berhasil membuat Fibri mengerjap.

"Iya." Fibri menjawab canggung. Tapi tetap tak mampu mengalihkan pandangan.

Gadis itu malah melakukan tindakan di luar kesadarannya. Dia ikut berdiri kemudian mengulurkan tangannya kepada pemuda itu. Membuat Bima menatapnya seperti orang aneh.

Fibri reflek menarik tangannya setelah sadar kalau Bima tak meresponnya. Dia kemudian kembali duduk.

"Kamu nunggu Fajar?" tanya Bima kemudian.

"Iya ...," jawab Fibri cepat tak sadar barusan keceplosan.

"Maksudku, tidak." Dengan cepat gadis itu meralat.

Kening Bima mengernyit. Tapi dia tak lagi bertanya apapun. Malah sekarang memunggungi gadis itu menatap arah lain.

   Setelah hampir sepuluh menit dengan posisi yang sama, kini wajah Fibri di buat memanas karena Bima memutuskan duduk di sebelahnya.

Bima tetap diam. Tatapannya penuh ke arah gerbang sekolah SMP. Seperti sedang menunggu seseorang.

Fibri tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Di tatapnya Bima diam-diam dengan penuh kekaguman. Lalu ketika pemuda itu menoleh, Fibri sengaja memasang senyuman. Membuat pemuda itu menjadi risih.

Kembali Bima memalingkan wajahnya ke arah depan. Seolah-olah tidak pernah bersinggungan dengan gadis di sebelahnya itu.

Bima bangkit lalu menghampiri seseorang yang sedang menuntun sepeda anginnya. Seseorang yang Fibri kenali bernama Sari.

"Hai. Pulang bareng yuk," sapa Bima dengan senyum mengembang.

Dari bangku tempat dia duduk, Fibri bisa jelas mendengar percakapan mereka.

"Nggak bisa. Aku langsung kerja," tolak Sari dengan wajah juteknya.

"Di toko Cik Susi 'kan? Kebetulan aku juga mau ke sana." Bima tetap berupaya membujuk.

Sari terdiam. wajah gadis berkulit eksotis itu gelisah seperti sedang menunggu seseorang.

Fibri tersenyum kecut. Dari apa yang barusan dia lihat, gadis itu bisa memastikan bahwa Bima mempunyai perasaan pada Sari.

Fibri memilih menunduk karena tak lagi tertarik menyimak obrolan mereka. Tetapi sesaat wajah gadis itu terangkat ketika dengan mata kepalanya sendiri, Fibri melihat Sari lebih memilih pulang bersama murid lain.

Meninggalkan Bima yang menatap kepergian mereka dengan wajah kecewa.

    Fibri cepat-cepat mengalihkan pandangannya ketika Bima mengalihkan pandangan padanya. Fibri tidak mau senyum bahagianya tertangkap oleh Bima yang hatinya sedang patah.

Bima masuk kembali ke dalam sekolahan. Senyum Fibri mengembang, dia merasa ada peluang untuk bisa mendekati cowok itu.

"Mbak, pulang sekarang?"

Lamunan Fibri pecah saat mendapati Pak Aji telah berdiri di hadapannya. Lalu dari balik kaca mobil, nampak Fajar sang Kakak sudah duduk manis di sana menatapnya dengan tatapan kesal.

Dahi gadis itu berkerut kapan kakaknya itu keluar dari gerbang sekolah?

Bersambung.

Yang mau baca kisah Sari, bisa ke tulisanku yang lain ya. Judulnya BENALU YANG TAK TERLIHAT.

Fibri Gadis Penggoda?!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang