Bab 6

201 8 1
                                    

     Dina sudah berada di dalam kelas ketika Fibri masuk. Padahal tak biasanya gadis berambut panjang itu datang pagi-pagi. Berbeda dengan Fibri yang memang sengaja minta berangkat sangat pagi agar kedatangannya tidak bersamaan dengan teman yang lain.

Saat Fibri masuk kelas, teman sebangku Nia itu tengah sibuk menulis sesuatu. Bahkan mungkin kedatangannya gadis itu tidak tahu.

"PR MTK sudah selesai, Fib?" sapa Dina. Ternyata dugaan Fibri salah, Dina tahu kedatangannya.

"Sudah," jawab Fibri pendek. Di dalam kelas itu baru ada mereka berdua.

"Wah ... kebetulan, boleh dong aku nyontek?"

Pantesan Dina datang sangat pagi. Ternyata dia belum mengerjakan PR.

Fibri sudah memikirkan hal ini semalaman. Dia tidak mau menjadi budak seperti kakaknya. Saat ulangan di ruang BK kemarin, gadis itu bisa memaklumi karena itu mendadak dan darurat, tetapi kalau sekarang?

Ini PR, harusnya Dina punya banyak waktu untuk mengerjakannya di rumah. Fibri tidak akan mau memberikan contekan. Apa bedanya dirinya dan kakaknya kalau dia sendiri begitu mudah memberikan contekan pada temannya?

"Kalau kamu nyontek terus, kapan belajarnya, Din. Kerjakan sendiri, ya," seru Fibri berusaha berhati-hati berbicara.

Fibri tahu betul resiko apa yang akan dia terima ketika menolak permintaan Dina. Dina pasti akan kesal padanya. Tapi Fibri juga punya alasan demi kebaikan temannya itu, dia tidak mau gara-gara terus menerus bergantung padanya, temannya itu jadi malas belajar.

"Pelit ternyata kamu." Dina menatap sengit sebelum kembali menekuri bukunya.

Fibri tersenyum kecut. Gadis berhidung bangir itu memilih keluar kelas menuju gerbang sekolah.

Fibri yakin seandainya dia masih di dalam kelas, bisa jadi dia akan luluh dan tidak ak tega melihat Dina mengerjakan PR sendirian.

    Senyum Fibri terbit ketika sampai gerbang sekolah gadis itu melihat Bima dan teman-temannya baru saja datang. Dari jarak yang tidak begitu dekat, Fibri melihat Bima pagi itu begitu tampan. Rambut pemuda itu di sisir rapi sementara tubuhnya begitu menarik dengan balutan seragam olahraga.

Bahkan dari jarak jauh saja Aroma parfum cowok itu tercium olehnya. Wangi bernuansa Aqua itu menghasilkan aroma segar bagi siapapun yang memakainya. Wangi yang tiba-tiba saja menjadi wangi favorit Fibri.

Mata gadis itu seakan tak mau lepas menatap punggung Bima yang sudah sampai di depan gerbang sekolahnya. Bahkan ketika pemuda itu menuntun sepedanya, mata Fibri terus saja tak mau beralih.

Jantung Fibri terasa berhenti ketika tanpa diduga Bima menoleh ke arahnya. Bahkan Fibri sempat  juga melihat Bima tersenyum padanya sekilas sebelum pemuda itu masuk ke dalam halaman sekolah.

"Sudah bel, Fib. Kenapa malah di sini?"

Fibri mengerjap beberapa kali untuk menyadarkan dirinya bahwa dia sedang tidak bermimpi. Tepukan Chika dari belakang membuat gadis itu menoleh.

"Hai!" Fibri tidak bisa untuk tidak tersenyum.

"Kenapa masih disini? Sudah Bel, tuh."

"Iya, ya ... Yuk, masuk."

Chika mengernyit heran. Pagi-pagi temannya itu sudah sangat aneh. Tapi dia tidak mau bertanya sekarang, jam pelajaran pertama sudah menunggu mereka.

"Nia nggak masuk?" bisik Fibri ketika mereka sudah masuk kelas.

"Dia izin sakit."

"Yaaaaa ..." Fibri melenguh kecil.

Chika mengeluarkan buku pelajaran sambil terus menatap teman sebangkunya itu heran.

"Memang ada apa sih? Tumben cari Nia?"

Fibri berpikir sejenak, menimbang nimbang apakah Chika berhak tahu atau tidak. Tadinya dia berharap Nia yang akan menjadi tempatnya curhat, karena sepertinya mereka sefrekwensi, tetapi berhubung gadis itu sedang tidak masuk, bercerita pada Chika tidak ada salahnya juga.

Semoga saja Chika tidak meledeknya.

"Bima, kamu kenal nggak?"

"Bima. Bima atau Fajar?" tanya Chika hampir tak terdengar.

Kening Fibri berkerut. Gadis itu langsung menepuk jidatnya pelan baru menyadari kalau teman-temannya masih mengira dia naksir Fajar.

"Bima lah. Masa Fajar?" sanggah Fibri lirih.

"Aneh. Bukannya kemarin Fajar ya? Cepat banget gantinya."

Fibri berusaha menahan tawanya. Sungguh sangat lucu, semua teman-temannya mengira dia naksir kakaknya sendiri.

"Chika, Fibri! Coba PR matematikanya bawa kemari."

Perhatian keduanya teralih, rupanya sedari tadi Bu Nana, guru Matematika, sudah sejak tadi memperhatikan.

***
   Dina sedari pagi mengacuhkan Fibri tapi gadis itu tidak ambil pusing. Chika sampai bingung sendiri karena tak biasanya Dina memasang wajah terkesan tak kenal pada Fibri, saat istirahat pertama.

"Kenapa si Dina? Kalian berantem?" tanya Chika saat berjalan ke arah kantin berdua bersama Fibri.

"Dia marah kayaknya. Tadi pagi mau nyontek MTK tapi nggak aku kasih."

Chika ber- Oh ria. Dia tidak menanggapi lagi, malah mencari topik lain.

"Beneran Bima? Ganteng banget sih? Tapi apa kamu nggak takut banyak saingan?"

"Emang banyak yang suka juga sama dia?" Fibri sampai menghentikan langkahnya karena terlalu antusias.

Chika mengangguk yakin.

"Its' okey. Nggak apa." Fibri melanjutkan langkahnya.

Chika mengikuti sambil menggaruk tengkuknya, baru menyadari kalau Nia tidak ada apa-apanya di banding cewek yang ada di sebelahnya ini.

Fibri lebih punya effort dan lebih bersemangat kayaknya.

    Keduanya masuk kantin yang kebetulan masih sepi. Mungkin karena kelas sebelah hari itu ada pelajaran olahraga sehingga sebagian dari mereka memilih jajan di luar sekolah.

Fibri dan Chika kemudian memesan makanan, lontong pecel. Makanan paling banyak di minati di kantin sini, selain siomay.

"Minggu depan kalau nggak salah ada bazar. Dan biasanya bazar itu acaranya gabungan gitu dengan anak SMA sebelah," kata Chika di sela-sela makannya.

Mendengar kalimat anak SMA sebelah wajah Fibri seketika berbinar.

"Apa semua siswa bisa ikut berpartisipasi dalam acara itu?"

"Anggota OSIS sih biasanya, tapi kita-kita bisa datang buat ngeramein gitu. Acaranya tiga hari, di lapangan sekolah SMA."

Senyum Fibri mengembang. Dalam hati gadis itu berjanji akan menggunakan kesempatan ini buat bertemu lagi dengan Bima.

"Sayangnya sudah nggak ada kesempatan buat masuk OSIS lagi ya?" tanya Fibri dengan wajah cemberut.

"Bisa kok, Fib. Mungkin karena sekolah kita sekolah pinggiran dan banyak siswanya yang kurang tertarik berorganisasi, tiap tahun ada seleksi buat masuk OSIS. Tapi ya, lumayan ketat persyaratannya."

"Oh ya? Masa ada peraturan seperti itu?"

Chika mengangkat bahu. Fibri berpikir keras. Apa iya kali ini dia menggunakan jalur dalam agar bisa masuk Anggota OSIS? Sesuatu yang selama ini dia hindari.

"Eh, kalau bazarnya sudah mulai kita ke sana bareng ya? Seru kali sekalian cuci mata." usul Chika.

Senyum Fibri melebar, gadis itu mengangguk semangat. Membayangkannya saja Fibri sudah semangat, apalagi bisa bertemu langsung.

Bisa-bisa dia tidak bisa tidur semalaman nantinya.

Bersambung.

Apakah kalian sudah baca kisah Sari? Langsung ke sebelah ya. Judulnya Benalu yang tak terlihat.

Yang mau cerita ini up sampai akhir jangan lupa follow 🥰

Fibri Gadis Penggoda?!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang