Bukan sekali atau dua kali, pagi Alena terusik oleh kenangan itu. Tiap detiknya selalu tergerus keluar. Menyayat hatinya pelan-pelan. Seperti pagi ini ketika calon suaminya itu memutuskan akan kembali ke tanah air. Alena menggigit bibir kuat-kuat. Oh, Jakarta... selalu membawa kenangan lama. Saat Alena memutuskan akan meninggalkan itu semua ke Kanada. Untuk hidup yang jauh lebih bahagia. Bertahun-tahun Alena melepaskan itu semua, merelakannya, dengan harapan tidak akan menoleh kembali ke sana.
Tapi kenapa? Kenapa? Tidak ada, kah, ruang untuknya bersembunyi? Alena tidak akan pernah siap. Menyambut kembali udara pagi yang dulu sempat dihirupnya di Jakarta. Dan menatap kembali langit malam itu akan menjadi duka. Rasanya dia hanya ingin bersembunyi selamanya.
"Tapi Liam, kenapa buru-buru? Well, aku rasa, kamu masih punya banyak proyek yang harus diselesaikan di sini?"
"Oh, sayang, itu nggak benar, Ale... Kerjaanku selesai. Kita bisa berkunjung ke tempat mama. Is that good idea?" senyuman Liam mengembang, "Setelah aku pikir-pikir, nggak ada salahnya kita tinggal sebentar di Jakarta. Aku menerima proyek baru di sana selama dua tahun. Kamu bisa nemenin Mama berkebun selama aku bertugas."
Senyuman Alena tersungging tipis. William, yang terlalu baik. William... Entah bagaimana cinta itu dapat dibalasnya? Saat bahkan Alena belum bisa melupakan kepingan masa lalu itu. William terlalu sempurna, terlalu baik. Tapi sedikit pembohong. Mana janjinya dulu, yang mengatakan mereka akan menetap di Kanada? Hidup bahagia di negeri indah itu? Jika pada akhirnya dia harus kembali menghadapi kota yang menyimpan segala mimpi buruknya di masa lalu itu. Sampai kapan pun Alena tidak akan siap menghadapinya.
"Ale? Tuh, kan, kamu ngelamun lagi, ck..." Liam berdecak.
Ale... Ale... Berhenti. Dan bisakah Liam berhenti memanggilnya dengan sebutan itu? Alena memejamkan mata. Kembali mencengkram lengan Liam kuat-kuat. Oh, dia sangat takut. Dia butuh pegangan. Dan sepanjang jalan menyusuri bandara keesokan harinya, Alena memeluk lengan Liam. Sesekali memejamkan mata. Tidak. Dia tidak ingin mengingat apapun.
Tapi memori itu terus berdatangan. Joshia... namanya. Suara itu. Alena bahkan masih mengingatnya.
"Ale... Ale..." dan tawa itu membahana penuh ejekan, "lo itu hidup di jaman apa, sih? Ck... Masih aja percaya sama perjodohan! Sumpah, keluarga lo itu kolot banget!"
Alena akan mencibir tidak suka saat Joshia dan segala sikap merendahkannya muncul. "Apa yang salah dari dijodohkan? Mama dan papaku jauh lebih tahu yang terbaik buat aku! Kamu nggak bisa judge sesuatu gitu aja, Joshi!"
"Iya... iya... yang tipenya cowok jenius... Mana mungkin gue masuk kriteria lo, kan?!" Joshia hanya menghembuskan sisa batang rokoknya, "yang ada udah kena blacklist, dulu!"
Alena hanya meringis. Tapi dia mengakuinya dulu. Jika ada yang bertanya, lelaki tipe seperti apa yang dia inginkan. Jelas, yang pertama jawabannya adalah, laki-laki itu harus pintar. Harus cerdas, jenius. Alena menyukai dan mengangumi lelaki cerdas. Baik otak dan hatinya. Apalagi dibalut dengan raut rupawan. Alena juga menyukai laki-laki yang bisa diajak berdiskusi dalam segala hal, yang punya banyak skill dan pengetahuan, yang berwibawa, juga yang pandai public speaking. Laki-laki yang bisa mengimbangi kegilaannya dalam belajar, yang mau menghabiskan seharian waktu di perpustakaan bersamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rewrite The Scars
ChickLitKesalahan terbesar Kallenya Sashmita Wangsa (Alena) di masa lalu adalah, membuang anaknya sendiri. Tahun-tahun berlalu, Alena pikir bisa melupakannya dan tetap hidup bahagia. Tapi, dosa itu terus mengejarnya. Bayang-bayang anaknya yang entah di mana...