[35] I Want to Marry Your Daughter

3.8K 378 46
                                    

"Gue tahu tangan lo udah keringetan dingin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Gue tahu tangan lo udah keringetan dingin."

Suara ejekan Jordan terdengar sepanjang sore. Bahkan saat Joshia baru bersiap dengan baju batiknya. Tidak ada yang spesial hari ini. Selain, ehem, selain semalam dia meminta adiknya itu untuk mengantarkannya membeli sebuah cincin. Renata yang mendengarnya menjadi orang yang paling bahagia di rumah ini. Tidak pernah dia sangka hari itu akan tiba. Mimpinya yang lain, melihat anak sulungnya mendatanginya dan meminta izin menikahi sang wanita impian.

"Joshi... Joshi..." Renata menangis dalam kebahagiaan yang tak terbendung.

Malam itu Joshia datang mengetuk pintu kamarnya dan Joseph pelan-pelan. Kebetulan Joseph, papanya sedang pulang dari Belanda. Dan Joshia benar mendapat momen yang tepat. Joshia datang dengan lembut. Sangat berbeda dari hari-hari sebelumnya. Mengatakan kesungguhan hatinya.

"Ma, aku... sungguhan..." Joshia mengedikkan bahu tidak mengerti. "Aku nggak tahu... Maksudnya..." Joshia menggaruk rambutnya yang tidak gatal. "Aku ingin..."

Jordan akhirnya yang bantu mengatakan. "Tinggal bilang lo mau lamar Kak Ale aja ribet banget."

Joshia mendengus kesal. "Berisik lo."

Dan hari itu, Renata menangis karena lega akhirnya putra sulungnya meminta hal yang selama ini dia tunggu-tunggu. Lalu keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka sudah mempersiapkan semuanya. Segala tetek bengek yang dibutuhkan untuk acara lamaran yang akan dilakukan.

Sejak tadi, Joshia tidak henti menarik napas berulang kali. Mengapa, sih, dia harus melakukan hal konyol seperti ini? Lihat, deh, dia harus pakai batik dan berdandan super rapi yang bukan gayanya sama sekali. Ugh, menyebalkan. Kenapa dia harus melakukan ini? Tapi Joshia menahan semua kedongkolan itu dengan senyuman. Kalau bukan demi Alena, meminta wanita itu menjadi teman hidupnya sesuai prosedur dan tata krama yang berlaku di masyarakat- yang kata Jordan wajib dia lalui- walau sebenarnya Joshia ogah melakukannya. Tapi tidak apa-apa, deh,, sekali seumur hidup dia melakukan ini semua. Demi Alena. Cintanya yang sempat hilang dulu.

Akhirnya pukul sembilan pagi iring-iringan mobil itu sampai juga di depan pagar rumah bunga-bunga milik keluarga Alena. Kalau boleh jujur, Joshia harus menarik napas berulang kali hanya untuk melangkah turun dari mobil. Rasanya, Joshia jadi menciut. Nyali gaharnya yang biasa bersarang di tubuh mendadak terhempas angin.

"Tegang banget tuh muka," sindir Jelita setengah tertawa mengejek. Tapi buru-buru tutup mulut saat Joshia melotot ke arahnya. "Finally, ya, Kak Josh. Udah siap?"

"Siap banget, dong!" ini suara Jordan.

Joshia menatap kedua adiknya jengkel. "Berisik!" Meski jauh di dalam hatinya dia merasakan debar jantung kegugupan itu. Dan ingatan masa lalu yang bodoh itu lagi-lagi menghantui.

Joshia ingat, pernah berada di sini. Hanya untuk mendapatkan penghinaan dan pengusiran. Bayang-bayang itu seperti masih melekat rasanya. Halaman ini, rumah ini, dan suara tinggi Nadin yang akan terdengar. Tidak. Mengingatnya mendadak Joshia merasakan keringat dingin membanjir ke seluruh tubuh.

Rewrite The ScarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang