"Jadi, untuk ke depannya kami akan memperketat eksekusi pembuatan susu kaleng. Mengedepankan bahan-bahan berkualitas unggulan dan memastikan tanggal expired yang akan dikirimkan ke distributor dalam kondisi aman. Sekali lagi maafkan kami, Pak Joshi, atas produksi pabrik yang beberapa bulan ini kacau. Kami akan terus berusaha memperbaiki ke depannya."
Joshia mendengarkan penjelasan branch manager di depannya dengan serius, mengangguk-angguk penuh kepastian. "Ya, saya pegang janji Pak Andreas selama satu tahun ini. Saya akan mengecek berkala laporan bulanan dari cabang Lembang ini."
"Baik, Pak. Siap."
"Oke, meeeting hari ini kita cukupkan dulu," Joshia melirik Alena yang sibuk mencatat tanpa minat di sampingnya. "Ada tambahan Bu Alena?"
Alena meringis, memainkan pulpennya kikuk. "Sepertinya cukup, Pak Joshi. Terima kasih banyak Pak Andreas dan Tim atas waktunya."
"Ya, terima kasih Bu Alena dan Pak Joshia atas kedatangannya. Gimana Pak, Bu, kalau kita keliling dulu melihat dapur restoran? Kami mengolah banyak jenis susu di sini."
Ah, Alena mendesah. Sayang sekali, hujan sejak semalaman tidak berhenti. Tanah yang becek, rute yang sulit dijangkau dari resto ke vila, juga angin yang terus berhembus. Menambah kemalasan Alena. Alena hanya ingin segera kembali ke vila dan bersembunyi di bawah selimut. Lalu di malam hari, Alena ingin menyeduh kopi untuk dibawa ke depan perapian, meminumnya sedikit demi sedikit sambil mengobrol santai dengan Joshia. Melupakan semua masa lalu di antara mereka. Dan berdamai seperti teman lama yang kembali bertemu.
Tapi Alena di sini, terdampar menunggu Joshia dan Andreas yang asyik mengelilingi restoran. Sibuk menunggu hujan reda. Meskipun benci, Alena harus mengakui, bahwa dia merasa nyaman di Lembang ini. Jauh dari keramaian dan kepadatan dunia. Juga masalahnya. Apalagi, bersama Joshia yang lebih tenang belakangan ini. Uh, memukuli diri sendiri, Alena berusaha membuang jauh seluruh pikirannya. Apa yang dia pikirkan?
Dan seseorang menepuk bahunya di tengah gerimis itu. Alena nyaris menjerit kaget. Kebetulan restoran itu sedang sepi dan remang. Joshia tertawa puas melihat raut takut Alena.
"Sial," desis Alena pura-pura marah. "Cepat sekali!"
Joshia mengerjap geli. Andreas sudah menghilang kembali ke dalam restoran. Jadi, Joshia bisa tertawa puas kemudian. "Wow, lo udah bisa ngumpat, ya, Le? Gue nggak nyangka."
Alena tersenyum sombong. "Bukannya kamu dulu yang selalu ngajari aku?"
"Oh, gitu, ya?" Joshia tertawa sumbang, "ajaran gue ke lo itu semua buruk, ya, dulu?"
Alena mendengus. "Sudah tahu, malah nanya."
Joshia tidak berkata lagi. Malah menyerahkan satu cup berisi es krim vanila dan pie susu batangan. "Coba, deh, ini hasil olahan susu di sini. Enak."
Alena terdiam kaku. Mau tak mau menerima makanan dari Joshia. Diam-diam meremas cup di tangannya erat. Joshia yang selembut ini. Alena merasa hatinya lagi-lagi kacau. Kenapa? Kenapa dia harus bersikap baik padanya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Rewrite The Scars
Literatura FemininaKesalahan terbesar Kallenya Sashmita Wangsa (Alena) di masa lalu adalah, membuang anaknya sendiri. Tahun-tahun berlalu, Alena pikir bisa melupakannya dan tetap hidup bahagia. Tapi, dosa itu terus mengejarnya. Bayang-bayang anaknya yang entah di mana...