[27] The Confession

3.4K 558 158
                                    

Alena menyingsingkan lengan cardigannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Alena menyingsingkan lengan cardigannya. Tersenyum hampa memandang luka bekas suntikan di sana. Bekas transfusi darah dan surat-surat yang hasilnya sudah jelas, positif. Berbagi DNA yang sama dengan Joessanno Wijanarko Van der Heuvel. Alena menyusut air matanya yang belum kering. Berjalan lunglai dari pintu kaca. Sesekali kembali menoleh ke sana. Menatap Jossan yang terbaring lemah dengan alat pernafasan dan selang. Alena memejamkan mata rapat-rapat. Menyenderkan kepalanya ke kaca itu. Berharap dia hanya bermimpi. Lalu kembali ke pantai bermain pasir.

Ternyata benar mimpi itu berusaha memberitahunya. Tapi Alena terlambat. Dan bahunya berguncang lagi. Anaknya berjuang di dalam sana. Apa yang dia lakukan selama ini? Joshia duduk tak jauh darinya, menunduk dalam tanpa bicara. Mereka pernah sehancur ini. Dulu....

"Jadi, kita berakhir, ya, Le?" dan meski Joshia tertawa meremehkan, Alena tahu senyuman itu adalah kehancuran. Dan air mata Joshia mengalir dalam senyum. Joshia tidak pernah menangis. Hatinya terlalu dingin untuk disentuh. Untuk pertama kalinya Joshia menangis di depannya. Seperti anak kecil kehilangan harapannya.

"Jadi, sampai sini aja, ya, gue di hidup lo, Le? Wow, rekor, sih. Thanks buat sepuluh tahun kita."

Alena takut pada masa lalu, yang tidak dia sangka mengejarnya bahkan hingga kini. Dan menit-menit berlalu tanpa mereka berbicara sepatah kata pun. Hanya terdengar napas berat Joshia yang meraup muka kusutnya berulang kali. Alena menatapnya dalam tangis.

"Seharusnya kamu bilang sejak awal, kalau... kalau Ossan anakku..." suara Alena diliputi sesak, "aku berhak untuk tahu anakku! Aku berhak untuk kenal dia! Tega-teganya kamu Joshi... kamu bikin aku merasa berdosa tiap saat! Padahal kamu yang pembunuh, Joshi! Kamu!"

Joshia tersenyum kosong. "Iya, kamu benar, aku bunuh dia dari lama..." Alena terdiam, "hatinya udah mati dari lama, anak kamu, Le. Aku yang bikin dia kayak gini. Dia bahkan tanya ke aku, apa aku benci sama dia?"

Alena menahan tangis.

Joshia tertawa miris. "Selama ini aku gagal jadi ayah buat dia... Aku nggak tahu apa kesukaannya, nggak pernah antar dia ke sekolah, nggak pernah ajak dia main, nggak pernah ngobrol sama dia. Selama ini... bukan aku yang rawat dia! Bukan aku! Bukan aku yang ngajarin dia jalan! Bukan aku yang ngajarin dia ngomong! Bahkan bukan aku yang kasih dia nama!"

"Cukup!" bentak Alena, tidak sanggup mendengar lagi. "Cukup, Joshi..."

"Gue cuma mau lo tahu!" bentak Joshia, "gue mau lo denger semua pengakuan dosa gue sekarang, sebelum lo dengar dari mulut orang lain!" Alena menggeleng ketakutan, "semua itu... Mama! Mama yang besarin cucunya sendiri! Bukan gue! Gue nggak pernah..." tangis Joshia tumpah, "bahkan untuk lihat muka dia, gue nggak berani... butuh waktu lima tahun lamanya... untuk gue menerima fakta kalau... kalau dia darah daging gue! Anak kita! Semua itu, karena lo! Dia selalu ngingetin gue tentang lo! Dan gue benci lihat muka dia! Gue muak, Le! Setiap dendam gue ke lo rasanya pindah ke dia!"

Rewrite The ScarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang