Kesalahan terbesar Kallenya Sashmita Wangsa (Alena) di masa lalu adalah, membuang anaknya sendiri. Tahun-tahun berlalu, Alena pikir bisa melupakannya dan tetap hidup bahagia. Tapi, dosa itu terus mengejarnya. Bayang-bayang anaknya yang entah di mana...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Joshia mengamati dari jauh. Gerak-gerik Alena dari balik jendela. Perempuan itu tersenyum ramah dan menyapa siapa saja yang datang. Perempuan itu... Ah, rasanya masih seperti mimpi.
Dan dia masih baik seperti dulu. Bahkan mengerjakan pekerjaannya di minggu pertama dengan sangat rajin. Joshia meremas tirai gorden. Pantulan kacanya membiaskan lekuk tubuh perempuan itu. Oh, dia sungguh nyata? Bukan jin yang menyamar atau apa? Kadang, Joshia merasa tertohok... Apakah memang Joshia sedikit merindu? Tapi, buru-buru ditepisnya saat langkah kaki perempuan itu mendekati pintu. Ah, panjang umur juga.
"Permisi, ini kopimu..." ujar Alena saat meletakkan secangkir kopi ke meja kerjanya.
Mau tak mau muka Joshia berubah sinis. "Saya nyuruh Verra yang buatin kopi! Bukan kamu, trainee baru!"
Alena mendesah jengkel. "Dan Verra nyuruh saya! Katanya ini salah satu tugas seorang trainee baru! Apa itu kurang jelas, Pak Joshi?!"
"Waow... tapi kamu emang cocok, sih, ngelayani saya. Ke mana aja kamu baru ngelayanin saya sekarang?"
Wah, to be honest, Alena tersinggung dengan ucapan ini. Melayani apa? Masyarakat, bangsa, dan negara?! Alena meringis mendengar tawa Joshia. Hobinya yang suka merendahkan orang kumat lagi, ck. Alena tidak tahan menghadapinya. "Kalau bukan karena kerjaan... mana mau saya ngelayanin, Anda! Udah, saya mau balik kerja, kalian- Anda dan sekutu-sekutu Anda- stop ngerjain saya! Saya bukan babu, paham!" tekannya.
Wohoo, baru kali ini ada pegawai baru berani bicara begini padanya. Lagipula, cih, siapa yang sudi meminum kopi buatannya? Mau dibuatkan sepuluh gelas pun, Joshia tidak sudi meminumnya. Tapi melihatnya begini, Joshia semakin panas ingin mengerjainya.
"Hei," dan ditariknya lengan Alena yang bersiap pergi, "wait, gue masih mau ngomong, Ale!"
Deg. Oh, jantung Alena sakit sekali rasanya. Ale? Ya, dia merindukan laki-laki ini yang memanggilnya begini... Hanya laki-laki ini... William memanggilnya dengan cara yang sama. Bahkan orang lain. Tapi mengapa, hanya laki-laki ini yang bisa membuatnya berdebar hanya dengan mendengar panggilan itu?
"Apalagi?"
"Apa lo pikir ini semua akal-akalan gue? No, I don't have a time to do the stupid things like this! You're just a new trainee! All trainee get the same treatment! Gue jelasin lagi, emang gini cara kita merlakuin pegawai baru! Lo harus terbiasa! Karena lingkungan kerja di kantor ini emang toxic!" senyum Joshia miring.
Alena mendesah. Wow, bahkan untuk jabatan manager sepertinya? Diperlakukan seperti anak magang?
Menghela napas panjang, mau tak mau Alena menjawab. "Okay, jadi aku harus beradaptasi sama kantor toxic ini, Joshi?"
"Iya, Ale! Udah sana pergi, ganggu aja lo!"
Baik, Alena akan benar-benar pergi. Dia juga sudah muak terlalu lama menghirup napas di ruangan yang sama dengan menusia itu. Oh, meski ada rindu yang tersisa di kotak hatinya. Menepis pikiran itu, Alena baru akan membuka gagang pintu emas di depannya, saat tahu-tahu pintu itu terbuka lebih dulu. Dan seorang bocah berlarian masuk nyaris menubruknya.