[1] Shinners Never Shine

11.2K 576 43
                                    

Seperti sebuah kertas putih yang ditorehkan tinta, coretan itu terlukis di sana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seperti sebuah kertas putih yang ditorehkan tinta, coretan itu terlukis di sana. Ibarat luka, maka akan membekas selamanya. Dan seperti juga masa lalu, selamanya akan membayangi di sana. Kallenya Sashmita Wangsa membenci masa lalu. Setiap hal yang membuatnya membuka sekotak kenangan yang tersimpan rapat di hatinya, Alena membenci itu.

Alena benci pada hujan dan petir yang tak berkesudahan. Alena benci jarum-jarum jam di dinding. Alena juga benci pada kincir angin yang berputar. Juga lelaki dengan bola mata setengah navy yang berpendar, berdarah Belanda, dengan rambut berantakan yang mengundang jemarinya untuk menyisir lembut. Lelaki yang tidak menyukai kerapian. Alena membenci itu semua. Karena hanya akan mengingatkannya dengan 'dia'.

Kembali menuangkan air ke dalam gelas kacanya, Alena hanya bisa menatap sendu pemandangan Kanada dari balik kaca. Ini mimpinya. Ini hidup yang ingin dia jalani. Tapi mengapa menyesakkan begini.

"Honey, I'm looking for you. And here you are! Mengapa kamu selalu pergi tiba-tiba dan nggak memberitahuku?" suara berat lelaki itu menyusul— Liam namanya— Alena buru-buru menghapus air matanya yang siap meluncur. Sial, mengapa dia terus menjadi cengeng hanya dengan mengetuk sedikit saja kenangan itu.

Ayolah, Alena, kamu sudah bahagia sekarang! Mimpimu terwujud! Ini yang kamu mau, kehidupan yang kamu inginkan... Alena, kamu harus bahagia!

Kadang Alena berpikir, sudah berapa banyak air mata yang dia keluarkan dengan cuma-cuma? Bukankah setiap orang pantas bahagia? Alena tidak munafik, bahwa dia masih menginginkan bahagia.

"Alena? Are you crying?! Again?!" dan desahan panjang Liam terdengar menangkup pipi Alena lembut, "But, why? Sayang, kamu menangis lagi? Please..."

Alena berkilah, "Nggak... Nggak, Liam... Aku kelilipan," dipaksakannya tawa, "kamu tahu, udara di sini dingin banget? Aku cuma melipir bentar. Nanti aku susul kamu dan teman-teman kamu."

Liam mengangkat alis. "Okay, I'll wait..." dikecupnya kening Alena sebelum akhirnya menyingkir pergi.

Alena selalu dan selalu melakukannya. Menyingkir dari keramaian. Liam selalu hapal gerak-geriknya. Alena yang tiap diajaknya ke pesta, untuk bertemu teman-temannya, mengenal lingkungan sosialnya, tapi malah selalu menyingkir dalam kesendirian. Hanya membawa segelas beer lalu menyingkir ke dekat jendela untuk melamun. Kadang-kadang menangis entah karena apa. Liam selalu berkata padanya untuk bahagia.

Tapi, bagaimana Alena bisa bahagia? Jika tiap detik, menit, dan jam... Alena hanya terus mengingat anaknya. Anaknya yang entah berada di mana.

Masih hidup, kah? Atau seperti kabar yang kerap didengarnya... sudah tiada?

***

"Aku berangkat!" bersama dengan bunyi gebrakan panjang yang membuat beberapa toast bergoyang, Joshia bangkit acuh. Melupakan sisa makananya di piring. Tidak ada yang menarik. Buru-buru diraihnya tas mentereng beserta kacamata hitam andalannya, siap dengan ferrari-nya yang mengkilap.

Rewrite The ScarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang