[8] Ours

3.4K 474 39
                                    

Hujan saat itu turun dengan deras, tapi Alena memaksa untuk pergi ke perpustakaan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hujan saat itu turun dengan deras, tapi Alena memaksa untuk pergi ke perpustakaan. Padahal hari sudah malam. Hampir pukul sembilan. Tapi, jurnal itu adalah segalanya untuknya. Jadi, dia akan melakukan segala cara untuk mendapatkannya.

"Sial! Ujan lagi! Ngotak dikit, Le! Lo masih mau ke perpus ujan gede gini?"

"Ya udah, tinggalin aku! Kamu boleh pulang, Joshi! Lagipula essay aku bukan urusan kamu!"

"Lo itu bener-bener ambis, ya, Le?"

Dan Joshia masih memaksakan diri mengantar dengan motor besarnya yang sudah dipermak warna-warni dengan knalpot gelondongan. Asapnya menguap kemana-mana bercampur bau tanah.

"Udah, nih, udah sampe," hanya itu respon Joshia saat berhasil membawa Alena di salah satu rak panjang berisi buku tebal. Tempat ini sangat anti dia datangi. Kalau bukan Alena yang memaksa, mana ada dia mau. Tapi, ini tidak gratis, kan?

"Jadi, karena sekarang udah sepi..." Joshia melirik ke sekeliling rak. Hanya ada sekumpulan buku sejauh mata memandang, senyum miringnya terbit, "can I kiss you?"

Alena bahkan hampir menjatuhkan bukunya karena Joshia mencium tidak tahu diri. Sial, tapi Joshia lebih menarik dari buku-buku ini sebenarnya...

"Aku harus selesaikan essay-ku dulu, Joshi... Please, deadline-nya besok..."

"Okay... I'll wait you here..." dan dikirimkan kecupan tipis di kening Alena, "nanti nginep apart gue, ya, Le? Atau... gue nyelinap kamar lo lagi?"

Dan mengingat keberanian Joshia menyelinap ke kamarnya lewat tangga samping rumah, Alena sangat menyesali itu. Nadin hampir memergoki mereka. Itu jelas bukan ide yang bagus.

"Apart kamu aja. Kamu mau dibunuh mamaku? Kemarin masih percobaan."

"Good idea."

Bayangan itu seperti kaset rusak yang berputar-putar di dalam otaknya. Seperti film usang, rekamannya terus menyala. Joshia memukuli meja bar frustasi. Sial. Sial. Mengisi berulang kali gelas whiskey di depannya, tidak berarti apa-apa. Joshia harus melupakannya. Anggap saja dia hanya bertemu hantu di pesta tadi.

"Rob, come!" racau Joshia pada bartender kenalan dekatnya, Robert atau yang biasa dipanggil Rob oleh komplotan kelab. "Once again! Rob, Rob, please... I need more..."

Robert menatap waspada botol kosong di tangan Joshia. "Lu nggak bisa gini, bray!"

"Alah, bacot lo, Rob! Gue minta lagi! Gue bayar pake dompet gue, noh!" tertatih Joshia hampir menghempaskan botol kosongnya, meraung dan mengemis pada satu botol warna keunguan yang kental. Oh, dia membutuhkan lebih, atau hal lain yang dapat mengalihkan mimpi buruk itu... Joshia harus melampiaskannya.

"Ada yang free malem ini? Gue butuh nge-room."

Robert merasakan alarm merah semakin menyala. Mau tak mau ditahannya lengan Joshia yang mabuk berat. "Bray, lu lagi nggak sehat, nih! Fix, pulang aja lu! Takut gue lu main kasar! Gue udah telpon adek lu tuh si Jordy, biar jemput lu!"

Rewrite The ScarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang