Sore ini di sinilah Joshia berada. Memacu gasnya tinggi-tinggi tanpa peduli pada Jossan yang duduk di kursi kemudi sampingnya. Sial, umpatnya dalam hati berkali-kali. Dan suasana sepi senyap layaknya kuburan sejak keduanya terjebak di dalam sana. Lampu merah terasa panjang dan menyiksa. Apa yang harus dia lakukan untuk membunuh waktu?
Malas diliriknya Jossan yang duduk diam menunduk sambil memangku sebuah mobil remote control. Entah dari siapa mobil itu. Sepertinya mobil kesayangannya. Karena Joshia kerap memergokinya membawa-bawa mobil mainan itu. Pasti dari Jordan. Dirinya? Oh, jangan tanya! Mana pernah membelikan mainan untuk bocah itu! Yang ada Joshia ingin menghancurkan seluruh mainannya!
"Gimana?" dan bahkan lidah Joshia kelu hanya untuk sedikit saja memulai pembicaraan, "Sekolah?"
Jossan meliriknya sekilas, lalu kembali menunduk.
Tidak mendapat jawaban, Joshia gusar setengah mati. Sial. Susah-susah dia mengajak bicara, malah tidak ditanggapi. Memang membaiki bocah itu seharusnya tidak pernah ada di kamus hidupnya. Merasa marah, Joshia menekan rem mendadak.
"Heh, lo tuli, ya, nggak denger gue ngomong apa?! Atau lo bisu, nggak bisa ngomong! Bisa nggak sih, ngomong yang kenceng kayak lagi sama Grandma atau Uncle Jo kesayangan lo itu--" dan menyadari nada bicaranya yang keterlaluan, Joshia buru-buru menurunkannya, "Kalau saya lagi ngomong, tanggepin yang bener! Berasa ngobrol sama angin!"
Jossan hanya melirik Joshia sekilas. "Kita... Mau... ke mana?"
"Kalau ngomong yang kenceng!"
"Papa, kita mau ke mana?"
Dan bantingan Joshia kencang menjebol lampu merah. Ada perasaan aneh yang menerobos hatinya setiap bocah itu memanggil demikian. Tapi segera ditepisnya. "Saya bukan bokap kamu! Harus berapa kali kamu dikasih tahu biar ngerti?!"
Jossan hanya menunduk. "Kenapa..." Kenapa Papa benci sama aku? Kadang Jossan ingin bertanya begitu. Tapi mulutnya selalu tidak pernah sampai. Di depan Joshia, suaranya lenyap bagai angin. "Maafin Ossan..."
Menghela napas panjang, Joshia kembali menetralkan laju mobil. Ferrari yang dikendarainya mendarat mulus ke salah satu arena golf kelas atas di Jakarta. Sebelum membuka sealt belt yang melingkari pinggang Jossan, ditatapnya bocah itu sinis.
"Jangan caper di depan temen saya! Apalagi sampe ngedrama nyari belas kasihan mereka, awas kamu! Ayo turun!"
Jossan hanya mengangguk patuh saat Joshia membukakan pintu, menggendongnya menuruni mobil. Tubuhnya masih ringkih dalam gendongan Joshia. Kadang Joshia ingin mendekapnya begini, tapi sisi hati lainnya ingin membanting bocah itu hidup-hidup. Senja masih terasa silau menyengat, Joshia buru-buru memakaikan topinya pada Jossan.
Jossan mengerjap polos, membuat Joshia kesal setengah mati. "Apa liat-liat?! Nggak usah geer, ya! Pake!" sinisnya.
Dan cuitan Abrisam mengudara dari jauh, merangkul pundak Zed di sampingnya. "Wuih, jangan galak-galak, dong, anaknya takut, Pak! By the way, kok romantis banget bapak-anak satu ini?"
Zed mengangguk penuh goda. Ikut-ikut Abrisam. "Bris, emang kelihatan aura bapaknya, ya, kalau gini?"
Joshia menatap dua temannya dingin. "Nggak usah banyak bacot! Atau gue pulang! Gue dipaksa bawa ini bocah! Nyusahin aja bisanya!"
"Ambekan banget lo, Josh!" Abrisam mengalihkan pandangan pada Jossan. Berjongkok di hadapannya gemas. "How are you, My Ossie boy? Makin tinggi aja, deh! Uncle Bris kangen, nih! Gendong, yuk, Os, mau?!"
Dan melihat Jossan yang mengangguk, Joshia meremas tangan mungilnya jengkel. Matanya melotot kesal penuh hujaman. Ini anak benar-benar. Sudah dibilang jangan caper pada temannya, selalu saja begini. Minta gendong Abrisam-lah, minta gandeng Zed-lah, inilah, itulah. Joshia benci melihat Jossan mendapat perhatian dari orang-orang terdekatnya. Atau mungkin... dia sebenarnya iri Jossan tidak pernah meminta hal itu darinya. Cih, Joshia juga tidak sudi memanjakan bocah itu.
"Apaan, sih, lo, Bris?! Tuh anak punya kaki, biar dipake jalan! Ayo jangan manja jadi orang!" Joshia jengkel setengah mati. Jossan melangkah menuju bangku di depannya. "Kamu tunggu sini, jagain tasnya, kita mau main golf dulu! Jangan kemana-mana!"
Tapi yang dilakukan Jossan selanjutnya malah menjatuhkan seperangkat tongkat golf mahal milik Joshia. Berceceran di lantai. Kemarahan Joshia jelas mengepul ke udara. "Bocah, lo bener-bener, ya! Dasar nggak becus! Gue bilang, pegang yang bener! Punya tangan nggak, sih, lo?!" Joshia hampir saja melayangan tangan kalau Zed tidak menghadang. Bersama Abrisam yang berlari menjauhkan Jossan.
"Are you crazy, Joshi?! What are you doing? Ossan is your son, if you don't forget the fact!" muak Zed tak habis pikir, "bisa nggak jangan emosian?!"
"And I don't care! Dia rusak barang gue! Look at this," Joshia menarik Abrisam yang berusaha melindungi Jossan, "Lepas! Heh, sini, gue bilang sama lo, bocah! Lo tahu nggak berapa harga barang ini?! Lo bisa ganti kalau sampe rusak? Bisa lo beli yang baru?"
"Joshi, jangan mulai, deh!" Zed menahan, "mending kita ke arena! Ayo!"
"Gue udah nggak minat!" mengambil langkah mundur, Joshia membereskan peralatan golf-nya, menarik tas miring ke punggung. Lalu mendengus jengkel, "Bye! Terserah lo berdua mau apain tuh anak! Gue pulang!"
Baru kali ini Jossan berani berteriak saat Joshia berlari meninggalkannya. Memacu mobilnya tinggi-tinggi. Jossan berlari mengejar. Tapi Joshia bahkan tidak membuka jendela "Papa! Papaaa! Ossan ikut! Jangan... pergi..." dan tangisnya meraung-raung.
"Papaaaa! Jangan pergiii...!"
"Hei... hei... Os, it's okay! Ada Uncle Bris sama Uncle Zed! Kita ke kedai es krim, ya?" tapi tangisan Jossan malah makin kencang. Abrisam menatap haru. "Os, finally, mau teriak juga, ya! Os, harus berani ngomong, ya, kalau dijahatin gitu? Jangan mau dijahatin sama papa! Os harus bisa lawan! Os nggak boleh takut, Os kan cowok. Calon jagoan."
Tapi yang dilakukan Jossan malah terus menangis di pelukan Abrisma. "Papa... nggak sayang aku, Uncle..."
"Hei, Os, don't say that... Papa sayang kamu, cuma dia selalu gengsi. Jadi dia sayangnya diam-diam."
____TBC___
Tok tok, hai see you again
masih sepi banget nich kolom komennya
:(Ramaikan yuuuq
Gimana menurut kalian bab ini?
Kasian nggak sama Ossan? Huhu
Joshi keterlaluan nggak, sih?
Thankies
KAMU SEDANG MEMBACA
Rewrite The Scars
ChickLitKesalahan terbesar Kallenya Sashmita Wangsa (Alena) di masa lalu adalah, membuang anaknya sendiri. Tahun-tahun berlalu, Alena pikir bisa melupakannya dan tetap hidup bahagia. Tapi, dosa itu terus mengejarnya. Bayang-bayang anaknya yang entah di mana...