SEKOTAK HARAPAN

163 21 12
                                    

Hai Ochi disini 👋

SELAMAT MEMBACA ☺️
JANGAN LUPA BAWA ROMBONGAN BUAT BACA CERITA INI JUGA, YA.

********

Sayup suara pohon dedaunan yang tersapu angin menari-nari di telinga Arkhi. Dinginnya udara malam itu menembus kamar Arkhi melalui jendela yang sengaja dibuka setengahnya.

Dibalik meja belajar, Arkhi sedang menatap sebuah kotak ukuran sedang yang sudah tiga hari ini dia siapkan. Sayangnya, sang ayah tidak mengijinkan Arkhi keluar malam ini. Laki-laki itu harus belajar dan belajar. Selalu seperti itu sampai ia mendapatkan kembali tahta juaranya.

Arkhi tidak membenci orangtuanya, sekalipun itu tidak pernah terselip dalam batinnya untuk membenci ayahnya. Setiap orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya, Arkhi percaya itu. Selain itu, bukankah ridho Allah itu bergantung pada ridho orang tua?

"Apa saya harus minta tolong Zahdan? Merepotkan tidak, ya?" Ucap laki-laki itu mencari ide.

Arkhi terdiam menatap ponsel yang sedari tadi tergeletak di meja belajarnya. Sudah sejak pulang sekolah ponsel itu sama sekali belum ia sentuh.

"Kalau tidak dicoba tidak akan tau. Bismillah." Monolog Arkhi seraya meraih ponselnya dan memutuskan untuk mengurimkan pesan pada seseorang.

To: ZAHDAN A.V (DPIB)

Assalaamu'alaikum. Adan, mohon maaf sebelumnya, Saya ijin minta tolong, bisa?

Sesopan itu? Ya, Arkhi memang sesopan itu sekalipun pada sahabatnya sendiri.

Arkhi meletakkan kembali ponselnya kemudian merebahkan tubuh lelahnya ke kasur. Kedua netranya berbinar menatap langit-langit kamarnya. Sebuah senyuman terukir manis saat ia tiba-tiba mengingat gadis mungil bernama Kala. Akhir-akhir ini wajah gadis itu seringkali mengganggu konsentrasinya.

Sekitar sepuluh menit lamanya, lamunan Arkhi akhirnya buyar saat mendengar notifikasi telepon di ponselnya. Dengan sigap laki-laki itu berdiri dan mengeceknya. Terpampang nama Zahdan disana.

"Assalaamu'alaikum," ucap Arkhi setelah menarik logo telpon warna hijau di layar ponselnya.

"Wa'alaikumussalaam, ada perlu apa Ar?" Tanya Zahdan di ujung telpon.

"Saya mau minta tolong boleh? Saya ada sesuatu yang harus diantar, tapi saya tidak diijinkan keluar."

"I see, gue tau bokap lo kayak gimana. Ya udah, gue kesana sekarang. Siapin barangnya biar gue aja yang anter." Jawab Zahdan tanpa banyak bertanya. Ia tau sahabatnya itu seringkali gagal mendapatkan ijin keluar karena tidak bisa mencari alasan.

"Terimakasih."

"Sans, kayak sama siapa aja." Balas Zahdan.

Mati. Zahdan begitu saja menutup sambungan telepon tanpa pamitan.

********

Di keheningan malam yang semakin sunyi, ditemani secangkir teh chamomile favoritnya dengan sebuah ponsel genggam di tangan, Kala terduduk lesu di balkon kamarnya. Tugas sekolah yang menumpuk di meja belajarnya itu ia biarkan begitu saja. Letih, tenaga dan pikirannya sudah terkuras habis hari ini. Ia ingin tenang, sejenak.

"Apa gue tebus obat penenang aja, ya? Kan boleh kalau ada resep dokter." Ucap Kala, penuh pertimbangan.

Kala memejamkan matanya dan menggeleng cepat, "Jangan deh, entar malah kebablasan lagi gue. YAA ALLAH!!!" Kala meraup wajahnya kasar.

TING!

Sebuah notifikasi pesan membuyarkan lamunan Kala yang semakin tidak terarah. Gadis itu melirik layar ponselnya, sebuah nomor yang tidak dikenali. Siapa?

MEZZANINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang