BETON BERTULANG

132 16 12
                                        


"Tetaplah logis, sekalipun perasaan memporak-porandakan kewarasanmu."

-Arkhi Izzaddin Khaliq-

********

"Dari hasil pemeriksaan, tidak terjadi cidera yang fatal pada pasien. Hanya saja, kami menemukan bercak darah di hidung dan helm yang digunakan pasien saat kecelakaan. Apa Anda tau tentang hal ini?" Tanya Dokter Ardi.

"Arkhi memang sering mimisan akhir-akhir ini. Dia juga beberapa kali mengeluh pusing, demam, dan flu yang nggak selesai-selesai. Bahkan saya pernah memergoki dia berkeringat dingin. Beberapa kali dia juga pingsan tiba-tiba." Jelas Zahdan.

"Sudah berapa lama?"

"Beberapa bulan terakhir. Tapi semakin hari, intensitasnya semakin sering, Dok."

"Hebat juga temen kamu bisa tahan. Saya menyarankan agar pasien segera menjalani pemeriksaan lebih lanjut, dikhawatirkan ada sakit yang harus diwaspadai."

Zahdan menautkan kedua alisnya, "Emang itu sakit apa dok?"

"Kemungkinan pasien mengalami gejala leukemia limfositik atau kanker darah dan sumsum tulang. Tapi perlu diketahui bahwa ini harus melalui tahapan diagnosis lebih lanjut."

********

Zahdan meraup wajahnya frustasi. Lorong kosong panjang seolah ikut menemani pikirannya yang kacau oleh vonis dokter untuk Arkhi. Dalam diam, Zahdan menatap Arkhi yang terbaring lelap di dalam ruang UGD.

"Pucet banget lo. Mirip setan! Jangan bikin gue takut, Ar." Sarkas Zahdan menatap lesu sahabatnya dari balik jendela UGD.

"Kak, gimana? Mas Arkhi kenapa? Apa kata dokter?" Kala berlari tergopoh-gopoh kembali dari toilet.

Zahdan menatap Kala lekat, ada rasa iba yang berkecamuk di hatinya. Gadis itu, gadis pertama yang membuat Arkhi jatuh cinta harus menerima kenyataan bahwa Arkhi tidak baik-baik saja.

"Luka kecelakaannya nggak terlalu parah. Lo tau kan kalau dia selalu safety riding? Tapi...." Zahdan menggantungkan ucapannya.

"Tapi?"

Zahdan menghembuskan nafas berat dari bibirnya,  "Arkhi mengalami gejala leukemia limfositik."

Kala tersentak tidak percaya, gadis itu jatuh terduduk di dinginnya lantai rumah sakit. Luruh segala otot yang menopang tubuhnya. Mata indahnya terbalut butiran kaca bening yang kemudian menciptakan aliran sungai di kedua pipinya yang ranum.

Melihat itu, Zahdan segera duduk bertumpu pada lututnya, mensejajarkan tingginya dengan Kala. Tangan kekarnya berusaha mengelus puncak kepala Kala yang terbalut jilbab. Dalam kekhawatiran yang sama, ia berusaha menenangkan gadis yang jiwanya tergoncang itu.

"Bantu gue buat hubungin orang tua Ar, ya? Dia butuh tindakan cepat dan gue masih pelajar. Nggak mungkin bisa jadi penanggung jawabnya."

Kala mendongak, laki-laki itu benar. Ia harus tetap berpikir jernih dalam keadaan sekalut apapun. Kalau kata Arkhi, Tetaplah logis, sekalipun perasaan memporak-porandakan kewarasanmu.

"Kakak ada kontaknya?" Tanya Kala.

"Nggak, tapi gue pegang HP-nya Arkhi. Tadi di kasih sama resepsionis waktu gue nanyain dia." Jawab Zahdan seraya mengeluarkan ponsel dari saku celananya.

"Passwordnya?"

"Gue tau." Balas Zahdan segera membuka ponsel sahabatnya itu.

11082005

MEZZANINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang