AMBISI

110 14 1
                                    

Lebaran seminggu lagi ☺️

Yang cowoknya fiksi absen sini ☝️

Halu boleh, tapi ibadah nggak boleh tinggal.

********

Waktu sudah menunjukkan pukul 11 siang. Detektor suhu ruangan Arkhi pun menunjukkan angka 30°C. Panasnya ruangan membuat Zahdan beberapa kali mengibaskan kaos yang ia kenakan. Sebenarnya, Zahdan bisa saja menurunkan suhu ruangan. Tapi ia tidak tega melihat Arkhi menggigil sejak tadi.


"AAARRGHHH"

Satu erangan terdengar begitu menyakitkan dibalik selimut yang Arkhi gunakan. Kedua tangan laki-laki itu mencengkeram erat kepalanya yang seperti ingin meledak. Hembusan nafas berat mengiringi kesakitan yang Arkhi rasakan.

"Gue panggil dokter dulu, ya?"

Kesekian kalinya Zahdan menanyakan hal yang sama, tapi bukan Arkhi namanya jika tidak keras kepala.

"Nggak perlu, saya hanya sakit biasa." Jawab Arkhi tidak berubah.

Zahdan membuka selimut yang menutupi wajah sahabatnya itu, "Dengan kondisi kayak gini lo bilang sakit biasa? GILA LO!" Umpat Zahdan tak tertahan lagi.

"Bodo amat, Ar. Gue nggak peduli lo setuju atau nggak. Kali ini gue bakal tetap panggil dokter." Ujar Zahdan seraya berlari keluar ruangan. Ia sudah muak dengan sikap Arkhi yang sok tangguh itu.

"ADAN!!" Teriakan Arkhi menggema di seluruh ruangan itu. Besar keinginan Arkhi untuk mencegah Zahdan pergi. Tapi ia kalah, ia kalah dengan rasa sakit yang menyerangnya bertubi-tubi. Pandangannya memudar, ia kembali hilang kesadaran.

********

"Orang tua pasien sudah datang?" Tanya dokter Affan yang baru saja selesai memeriksa Arkhi.

"Belum, Dok. Mungkin sebentar lagi." Jawab Zahdan singkat.

"Nanti kalau orangtuanya sudah datang, tolong antarkan ke ruangan saya, ya? Saya ingin bicara serius dengan orangtuanya."

"Baik, Dok."

Dokter Affan pergi, tersisa Zahdan yang diam berdiri menatap punggung Dokter Affan yang semakin menjauh. Kali ini, ia tidak bisa lagi berpikir positif, berbagai kemungkinan buruk begitu saja menguasai pikirannya.

Zahdan mengerjap, sejenak ia menggelengkan kepalanya cepat. Sekuat tenaga ia membuang jauh-jauh pikiran negatifnya tentang penyakit yang diderita Arkhi.

Zahdan kembali ke ruangan, menatap tubuh Arkhi yang semakin kurus, "Lo pasti sembuh, Ar. Gue percaya sama lo." Gumam Zahdan kejauhan.

BRAK!

Tubuh Zahdan terdorong pintu yang tiba-tiba dibuka dari luar. Untung saja, ia  berhasil menggapai ujung kasur Arkhi sebelum tubuhnya tersungkur mencium bumi.

"ARKHI!" Seru Umma Haneen saat melihat tubuh anak lelakinya tidak berdaya. Dengan nafas yang menderu, wanita paruh baya itu memeluk tubuh anaknya yang terbaring lemah.

"Zahdan, ada apa dengan anak saya?"

Roy, laki-laki dengan setelan jas lengkap itu langsung menodong Zahdan dengan pertanyaan tanpa ingin membantu Zahdan berdiri. Dibalik punggungnya, ada tas ransel besar yang Zahdan yakini berisi buku-buku milik Arkhi. Bahkan dalam keadaan seperti ini, Arkhi harus terus belajar. Kacau!

Zahdan segera bangkit dari jatuhnya. Laki-laki itu tertunduk lesu saat berhadapan dengan Roy. Bagaimana caranya ia menyampaikan kabar yang lebih menyakitkan daripada lukanya akibat tersungkur itu?

MEZZANINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang