LELAH

80 6 4
                                    

"Aksaramu sederhana, Nona. Namun bagiku, ia laksana busur panah yang menembus dinding asa bumantara."

~Zahdan Adyatama Virendra

Waktu menunjukkan pukul lima sore, Kala masih menggunakan seragam sekolahnya yang basah kuyup, menandakan ia nekat menerobos hujan agar tidak terlambat pulang. Sebagai anak yang tidak mempunyai hak atas kebebasannya, kehidupan Kala tidak akan lepas dari pengawasan, interogasi, dan pengambilan keputusan yang berada di tangan raja terakhir, ayahnya sendiri.

Kala tertunduk dalam dengan posisi berhadapan dengan ayahnya yang duduk di sofa ruang tamu dengan sebatang rokok ditangan. Jantung gadis itu berdebar kencang. Tentu saja Kala tahu kesalahannya, ia pulang terlalu sore hari ini. Meskipun ia tidak kemana-mana dan tetap berada di lingkungan sekolah, tapi itu tidak cukup menjadi alasan untuk dia pulang terlambat. Ayahnya juga tidak akan percaya kalau Kala terlambat pulang untuk lebih banyak belajar dan tugas.

"Ngapain pulang?" tanya Dheva dengan wajah merah padam. Tatapan elangnya selalu berhasil membuat anak gadisnya itu ketakutan.

"Maaf, Yah." ucap Kala. Mata gadis itu memejam saat cairan bening di matanya mendesak keluar.

"Ngapain minta maaf? Apa salah kamu?"

"Kala telat pulang, Yah." Jawab Kala.

"Kenapa telat pulang? Pacaran lagi? Sama cowok itu lagi? Ha?"

Bibir Kala bergetar, "Ayah apa-apaan sih? Kala belajar fisika dan math. Ada beberapa materi yang Kala belum kuasai, jadi Kala belajar bareng sama temen Kala, Yah." Ucapnya gugup.

Dheva menghembuskan asap rokok kencang ke arah langit-langit rumah, "Kala.. Kala... Makin hari kamu makin pinter cari alasan. Mau jadi pembangkang kamu?"

Kala makin menunduk, bibirnya terkatup semakin rapat. Giginya bergeretak menahan luapan emosi dalam hatinya. Sungguh, ia sudah terlalu muak menahan diri untuk tidak terpancing emosi. Kejujuran yang ia utarakan tidak pernah lagi ada arti. "Kala sudah berusaha jujur, Yah. Selebihnya terserah ayah."

Mendengar itu, wajah Dheva merah padam. Baginya, jawaban Kala sangat mengoyak harga dirinya. "KAMU MASIH ANAK AYAH! DAN AYAH PUNYA HAK SEPENUHNYA ATAS HIDUP KAMU!"

Dheva mematikan rokoknya diatas asbak, "Sejak kenal cowok itu, kamu jadi makin pinter bohong. Jangan kamu pikir ayah nggak tahu! Pas konser kemarin dia ada sama kamu kan? Cowokmu itu ngikutin kamu sampai gerbang. KAMU PIKIR AYAH BUTA?" sambungnya.

"Yah... bahkan Kala aja nggak tahu kalau ada yang ngikutin Kala dari belakang." terang Kala berusaha membela diri. Gadis itu tidak berbohong, ia sama sekali tidak tahu kalau malam itu Arkhi masih mengikutinya sampai ke gerbang sekolah.

"NGGAK USAH BOHONG!" bentak Dheva dengan nada tinggi. Emosi yang tidak tertahan lagi dibenak Dheva. Laki-laki itu masih yakin bahwa anak gadisnya sengaja membohongi dirinya.

Bentakan yang nyaring itu tidak hanya mengejutkan Kala, bahkan Serena yang berada di dapur pun serta merta berlari meninggalkan pekerjaan dapurnya. Naluri seorang ibu tidak akan tega melihat anaknya terluka.

"Ayah, sudah, Yah. Biarkan anakmu ini bebersih dulu. Kasihan menggigil begini." ucap Serena sesampainya di ambang pintu ruang tamu.

"Terserah! Bela saja anakmu yang kurang ajar ini. Kalau ada apa-apa, jangan harap Ayah mau anggap kamu lagi." tukas Dheva. Dengan tanpa peduli dengan kondisi anak gadisnya, Dheva begitu saja pergi dari hadapan anak dan istrinya.

"Sudah, jangan suka buat ayahmu marah lagi. Bunda mau selesaikan pekerjaan dapur dulu." ucap Serena lantas meninggalkan Kala yang masih tertunduk dalam.

MEZZANINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang