4: Binar di Matanya

27 14 0
                                    

Aku membolak-balikkan tubuhku di atas kasur.

Sudah setengah jam aku berbaring di kasur namun tidak kunjung tidur.

Aku merasa gusar.

Kepalaku berisik sekali. Penuh dengan banyak pertanyaan yang memaksa untuk segera dijawab. Sayangnya aku sendiri tidak tahu harus mencari di mana jawabannya.

Sekarang sudah pukul sepuluh malam. Bila aku tidak segera tidur, besok keadaan fisikku tidak dalam kondisi yang prima sementara besok adalah pertandingan grand final liga voli antara tim sekolahku dan tim voli SMK Barakuda. Mereka adalah sekolah dengan tim olahraga yang terkenal kuat. Termasuk voli. Di SMK itu, terdapat Michael Kasep, atlet muda voli terbaik urutan pertama se-provinsi. Bisa tebak siapa yang ada di urutan kedua? Ya. Aku.

Posisinya sebagai smasher. Dia hampir selalu berhasil mengubah lemparan dari setter¹ menjadi skor. Dia seorang smasher² yang berbakat. Dia juga seorang ace yang hebat di timnya.

Tapi bukan si Michael Kasep atau tim SMK Barakuda yang mengganggu pikiranku malam ini. Aku sama sekali tidak terganggu dengan turnamen besok.

"AHHHH!" Aku berteriak. Mengacak-acak rambutku.

"Heh, berisik!" omel kakak perempuanku di kamar sebelah. "Tidur, Pram! Besok lu ada turnamen!" tambahnya.

Segera aku menarik selimut dan menutupi seluruh tubuhku (termasuk kepala). Aku takut kakakku akan mendatangi kamarku lalu mengomeliku. Di saat perasaanku tengah gelisah begini, omelan kakakku adalah hal terakhir yang mau aku dengar.

Aku memikirkan tentang kejadian sore tadi yang aku lihat sendiri.

"Gue pulang duluan, ya."

"Iya, hati-hati."

Dialog di atas adalah percakapan singkat antara Iona dan Roos saat pulang sekolah tadi. Kejadian itu sialnya terjadi langsung di depan mataku saat aku sedang memeras pel di depan kelas. Sebenarnya sapaan ingin pulang seperti itu merupakan hal yang normal. Apalagi mereka teman sekelas. Tidak ada yang salah dengan itu, kan? Namun raut wajah Iona usai Roos pergi yang membuatku merasa ada yang janggal.

Senyuman Iona yang tercipta sejak Roos datang menghampirinya tidak bisa kulupakan. Itu senyuman yang tulus. Berbeda jauh dengan senyuman Iona padaku di kantin tadi.

Tatkala Roos telah pergi, Iona masih di depan kelas. Berdiri memegangi pengki namun pandangannya tak lepas dari Roos sampai lelaki blonde itu benar-benar lenyap dari penglihatan. Tatapan itu ... tatapan Iona pada Roos bukan sekadar tatapan mengagumi. Dari samping, terlihat jelas binar mata Iona yang tak pernah muncul ketika ia menatap orang lain. Aku sangat mengenali tatapan itu. Seperti tatapan Laura pada Jafar, seperti tatapanku pada Iona.

Itu adalah tatapan yang menyorotkan perasaan yang terpendam.

》《

"Lu ngapain, sih, semalem teriak-teriak begitu?" tanya kakakku seraya menyusun makanan di kotak bekalku.

"Ada kecoa," jawabku bohong.

Kakakku hanya menggeleng. Ia percaya pada kebohongan itu karena aku memang betulan takut pada kecoa.

Ketika orang tuaku resmi bercerai, aku tidak memilih siapapun di antara mamah dan papahku. Aku memilih kakakku. Bagiku, hanya kakakku yang selalu ada untukku bahkan ketika kedua orang tuaku masih bersama. Mamahku sibuk bergaul dengan teman arisannya. Sementara papahku sibuk bekerja. Meskipun begitu, aku tidak lantas bisa tinggal berdua dengan kakakku. Butuh waktu enam tahun untuk keinginanku tercapai karena kakakku masih kuliah dan belum punya kerjaan kala itu.

Forever Silver ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang