Pertanyaan "Bagaimana caranya?" merupakan hal yang sia-sia ditanyakan pada Iona. Karena sudah pasti, Iona sudah tahu bagaimana caranya. Ia telah menyiapkan rencana yang matang untuk membebaskan Roos. Tiga hari berada di kapal ini, Iona sudah memahami seluk beluk bagian kapal kargo ini, jumlah penjaga, tempat-tempat para penjaga itu berpatroli, dan gudang penyimpanan senjata. Aku lebih dari takjub selama mendengar penjelasannya mengenai itu semua.
"Gimana penampilan gue?" tanyaku usai memakai helm serta penutup wajah yang cuma menyisakan dua mataku.
Mata Iona membesar. Senyumnya merekah. "Wow. Lo keren banget!" serunya.
Oh, aku bersyukur memakai penutup wajah ini karena demi apapun pipiku terasa panas, kedua ujung bibirku tertarik ke atas. Aku tersenyum lebar di balik penutup wajah ini. Jantungku berdegup sangat cepat.
"Tapi masih ada yang kurang," ucap Iona sambil mengambil senjata laras panjang yang tergeletak di bangku. Ia menyerahkannya padaku. "Nah, lo semakin mirip deh sama penjaga yang lain."
Aku menerima senjata itu dengan perasaan agak ngeri. Aku takut jariku tiba-tiba menarik pelatuk secara tak sengaja. "Lo serius gue harus bawa ini?"
Iona mengangguk. Ia melepas kunciran rambutnya, menyisir rambutnya dengan jari-jarinya.
"Rambut lo ... dipotong?" Mataku membelalak. Pantas saja aku memperhatikan seperti ada yang berbeda darinya. Astaga, aku baru menyadarinya.
"Iya, soalnya rambut panjang gue bakalan susah diatur kalo pake pakaian gitu." Jemarinya menunjuk seragam yang aku kenakan.
Benar juga. Ia pasti memotongnya dengan gunting atau pisau secara terburu-buru, aku bisa melihat dari potongan rambutnya yang tidak rapi. Rambutnya yang semula sepanjang pinggangnya, kini sepanjang leher. Mesti berat baginya untuk memotong rambut yang telah ia rawat sejak lama.
"Kenapa? Aneh, ya?" tanya Iona, menyadari aku memandanginya agak lama. Ia merapikan seragam sekolah yang ia kenakan. Rasanya seperti sudah lama sekali melihatnya memakai seragam sekolah.
"Enggak!" Aku menggeleng cepat. "Lo ... tetep cantik," ucapku dengan suara agak pelan, tapi aku pastikan Iona mendengarnya.
Sekali lagi aku bersyukur memakai penutup wajah ini.
"Makasih," balasnya. Ia nampak merasa lega. "Ayo, siap?"
Aku mengangguk.
Dini hari, tidak banyak penjaga yang berjaga di bagian bawah. Kebanyakan penjaga berjaga di bagian dek kapal. Penjaga yang berpatroli juga cuma mengawasi tempat--tempat penting seperti gudang, ruang mesin, dan penjara. Oh, ya, omong-omong soal penjara, apakah para penjaga itu sudah sadar kalau aku kabur dari penjara?
Kami berada di sebuah persimpangan.
"Gue bakal ke ruang mesin buat nyalain sinyal bantuan ke kapal lain, lo jemput Roos di ruangannya. Kita ketemu di ruang mesin," ucap Iona.
"Oke," jawabku. "Iona, hati-hati," pesanku sebelum kami berdua berpisah jalan.
Iona tersenyum. "Lo juga. Jangan mati," ucapnya sebelum berlari menuju ke lorong lain yang akan membawanya ke ruang mesin.
Awalnya aku sempat kurang setuju dengan rencana ini karena kami akan berpisah. Aku takut apa-apa terjadi pada Iona. Namun, usai mengingat bahwa ia adalah orang yang berhasil melumpuhkan penjaga serta bertahan hidup di kapal selama tiga hari—di tengah para penculiknya, aku berubah pikiran. Aku percaya sepenuhnya pada Iona. Ia pasti bisa menjaga diri. Mestinya aku mengkhawatirkan diriku sendiri sebab maut bisa saja menghampiriku sekali aku salah melangkah.
Aku menarik napas dalam, lalu mengembuskannya.
Jangan sampai ada kesalahan sebab nyawaku cuma ada satu. Aku bukan tokoh utama anime yang bisa terus hidup walaupun sudah dibantai habis-habisan berkali-kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever Silver ✔️
Ficção Adolescente[ semesta pertama ] Hidup telah menakdirkanku berada di posisi kedua sejak aku dilahirkan di dunia ini. Aku berpikir bahwa sekeras apapun aku berjuang, tempatku adalah di posisi kedua. Setinggi apapun langit, masih ada langit di atasnya yang jauh l...