24: Kapal Kargo

14 10 0
                                    

Mataku terbuka perlahan-lahan. Menyesuaikan cahaya yang masuk ke penglihatanku. Nyeri di bagian tengkuk leherku langsung menyambut. Rasa sakitnya berkali lipat dibanding dengan kena gebok bola voli.

Saat mataku telah terbuka sepenuhnya, aku mengedarkan pandangan ke sekitarku. Aku berada di sebuah tempat yang asing. Ruangan yang sangat luas. Atap yang begitu tinggi. Ada ratusan—atau bisa jadi ribuan karung yang ditumpuk, disusun rapi. Tempat ini merupakan gudang penyimpanan. Entah karung-karung itu berisi apa.

Aku menyadari kedua tanganku terikat rantai. Pantas saja sejak tadi aku merasakan tanganku berat, seolah ada yang mencengkram tanganku kuat-kuat. Kakiku juga demikian, terdapat gelang kaki besi yang terpasang di masing-masing kakiku. Gelang kaki besi itu tersambung dengan rantai. Ketika aku menoleh ke belakang, rantai ini terpasang pada sebuah tiang besi yang berada di dekat tumpukan karung-karung.

Perlahan-lahan aku berdiri. Aku mencoba berjalan, mencari tahu seberapa jauh aku bisa melangkah. Ternyata cuma sekitar dua puluh meter. Aku menarik-narik rantai yang tersambung pada gelang kaki besi itu, berharap dapat terlepas dari tiang besi sana. Tentu saja usahaku sia-sia. Berkali-kali aku tarik tidak ada tanda-tanda rantai itu akan terlepas. Tiang besi itu bergerak saja pun tidak.

"Gue juga masih heran ke mana ilangnya, tuh, cewek."

"Apa mungkin dia udah terjun ke laut?"

Suara orang-orang itu terdengar mendekat. Buru-buru aku kembali duduk di posisiku semula. Memejamkan mataku, berpura-pura belum sadar. Suara ketukan sepatu mereka sudah sangat dekat. Mereka pasti sudah berdiri di hadapanku saat ini.

"Woi, Bangun!" Salah seorang dari mereka menendang tubuhku dengan sepatu bot militer mereka. Sialan.

Aku mengerjapkan mataku berkali-kali. Seorang pria berseragam lengkap; baju ala pasukan militer atau pasukan penakluk bom profesional berwarna hitam. Rompi anti peluru, helm, dan masker yang hanya menyisakan dua matanya. Kedua tangannya membawa sebuah senjata laras panjang.

Aku menelan ludah.

Astaga, siapa sebenarnya mereka?

"Ikut!" Seorang yang lain muncul dari belakangku. Ia mendorong punggungku, menyuruhku berjalan.

Tubuh mereka lebih kecil daripada aku, tetapi dengan pakaian serta senjata laras panjang yang mereka bawa, aku tidak bisa melawan. Setidaknya untuk saat ini aku ikuti saja apa kata mereka sambil mengamati keadaan sekitar.

Rupanya rantai di kakiku sudah dilepas. Namun gelang kaki besi itu masih mencengkram kedua pergelangan kakiku. Aku berjalan dengan dua pria berseragam serba hitam ini menjagaku di depan dan di belakang.

"Cepet!"

Aku dapat merasakan punggungku dipukul menggunakan popor senjata. "Tsk, berisik," desisku geram. Berjalan dengan gelang kaki besi yang masing-masing beratnya lima kilogram itu tidaklah mudah! Terlebih lagi moncong senjata yang ditempelkan pada punggungku. Aku yakin jari mereka sudah bersiap pada pelatuk.

Kami melewati lorong-lorong sempit yang di sebelah kanan dan kirinya penuh pipa gas. Selama berjalan, aku terus mencari celah untuk kabur. Tetapi dengan mereka yang membawa senjata api serta berpakaian lengkap, aku tidak yakin aku bisa melakukannya. Jadilah, aku terpaksa terus berjalan hingga kami tiba di sebuah ruangan bawah tanah. Tidak, ini adalah penjara bawah tanah. Sebab banyak sel yang berjejer tidak lama seusai kami memasuki lorong ini.

Sel-sel itu semuanya kosong.

Mereka terus menyuruhku berjalan sampai kami tiba di sel paling ujung. Paling belakang. Mereka mendorongku masuk ke dalam sel, lantas menggembok sel itu kuat-kuat. Mereka pergi meninggalkanku begitu saja.

Forever Silver ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang