22: Malapetaka Kembali

14 10 0
                                    

Kalian ingat aku pernah membawa Roos ke rumah untuk diobati oleh kakakku? Sebenarnya hari itu tidak berhenti sampai aku dan Roos 'mendeklarasikan perang', bertanding menjadi pemenang di hati Iona. Ada satu bagian lagi yang sengaja aku simpan untuk kuceritakan kembali di saat yang tepat ini.

"Gue tau Iona sakit hati sama ucapan gue waktu itu. Dia juga bingung sama sikap gue. Tapi gue harap Iona masih mau ngasih gue kesempatan kedua. Kali ini gue yang bakal balik berjuang buat dia."

"Oke," sahutku. "Tapi, gimana dengan 'jati diri' dan 'kehidupan' lo yang menurut lo bakal buat Iona tambah sakit hati?"

"'Seburuk apapun seseorang, di mata orang yang dia suka bakalan tetep jadi yang terbaik'. Gitu, 'kan, kata lo, Pram? Walaupun Iona menghindar dari gue, tapi gue yakin Iona masih suka sama gue. Perasaan dia ke gue masih ada setidaknya."

Roos merogoh sesuatu dari saku celana yang ia kenakan. Ia menyodorkanku sebuah kartu nama.

"Tapi, kalo gue nyerah suatu saat nanti, lo harus janji buat bawa Iona ke tempat ini. Di sana, gue bakal jelasin semuanya tentang jati diri dan kehidupan gue. Dan gue bakal ngelepas Iona."

Aku menepis kasar tangannya sampai kartu nama yang ia pegang terlepas dari tangannya.

"Maksud lo!? Lo baru aja bilang bakal berjuang buat Iona, tapi lo uda nyiapin rencana buat nyerah gini?" Aku geram dibuatnya. Sebagai seseorang yang terbiasa dalam kompetisi dan selalu berambisi untuk menjadi pemenangnya, melihat lawanku sudah bersiap untuk menyerah sesaat kompetisi sudah dimulai merupakan penghinaan bagiku. Ayolah, kau bahkan punya lebih banyak faktor pendukung untuk memenangkan kompetisi ini, namun bisa-bisanya kau berpikir akan menyerah!?

"Lo gak tau apa yang bakal terjadi sama orang kayak gue. Kemungkinan buruk itu bakalan ada." Ia memungut kartu nama yang tergeletak di lantai. "Dan saat itu terjadi, hal pertama yang gue mau adalah Iona tau semuanya tentang gue: kehidupan, jati diri, dan perasan gue buat dia. Gue tau gue terlalu naif, tapi ... walaupun ini bakal nyakitin dia, gue harap gue masih bisa jadi yang 'terbaik' di mata dia." Ia menyodorkanku kartu nama itu sekali lagi padaku.

Aku menerimanya, menatapnya penuh kesal. Membingungkan, juga menyebalkan! Aku tidak pernah paham jalan pikirannya. Ia bersikap sok bijak membuatku tambah muak. Tapi sialnya, ia juga berhasil membuatku mau melakukannya karena satu alasan: Iona. Asal Iona yang menjadi alasan, aku akan mau melakukan apa pun.

Malam itu, usai kepulangannya, aku segera mencari tahu semua informasi yang ada di kartu nama ini. Terkejut bukan main pasti. Kala itu aku langsung mengetahui semuanya. Tentang alasan mengapa Roos selalu memakai setelan jas dan kemeja yang flashy pada malam hari, mengapa ia sering berkencan dengan perempuan yang berbeda, dan aku paham mengapa anting ruby seharga dua ratus juta bisa tersemat di daun telinganya.

Aku langsung memikirkan bagaimana perasaan Iona bila mengetahui ini semua suatu hari nanti. Percaya atau tidak, aku sempat berharap Roos untuk tidak pernah menyerah supaya Iona tidak mengetahui hal ini. Aku tak sampai hati mengajak Iona ke tempat itu untuk mendengar penjelasan Roos.

Hingga hari ini Roos mengirimiku pesan, yang membuatku dilanda kebimbangan. Haruskah aku melakukannya? Membawa Iona mendengarkan kenyataan pahit perihal Roos? Aku bisa saja mengabaikan pesan Roos, menganggapnya telah hilang selamanya, lalu berada di sisi Iona selamanya. Tapi aku tidak sanggup membiarkan Iona dilanda rasa penasaran seumur hidupnya karena Roos menghilang begitu saja. Aku juga tidak kuasa melihat Iona dilingkupi perasaan bersalah karena ia berpikir Roos membencinya-padahal Roos selama ini juga mempunyai perasaan yang sama dengannya.

Aku ... mesti mempertemukan mereka berdua. Setidaknya, mereka bisa saling mengucap 'selamat tinggal' kepada satu sama lain.

"Lo serius Roos ada di sini?" tanya Iona usai membaca kartu nama yang aku beri.

Forever Silver ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang