"Heh, ayo, masuk kelas! Ada tugas ini dari Bu Tri!" perintah Iona seraya menggiring anak laki-laki kelasnya yang sejak tadi berada di depan kelasm. Para laki-laki itu mengeluh, mereka kompak berseru "Yaah!" sambil bermalas-malasan masuk ke dalam kelas.
Iona berada di paling belakang, memastikan semua anak laki-laki kelasnya sudah masuk kelas. Aku yang tengah bersandar pada daun pintu kelasku sempat melakukan kontak mata dengannya. Kontak mata itu memang singkat, tetapi sangat berpengaruh besar padaku. Aku dapat merasakan jantungku yang berpacu lebih cepat untuk sesaat tadi.
Hari ini aku kontak mata dengannya!
Dari kejauhan aku melihat Jafar perlahan menaiki tangga. Puluhan buku besar yang ia bawa menumpuk hingga menutupi wajahnya. Begitu naik di anak tangga terakhir, Jafar kehilangan sedikit keseimbangannya. Beberapa buku yang ia bawa nyaris jatuh. Beruntung aku refleks menangkapnya.
"Makasih, Mas Pram," ucapnya dengan nada lembut yang dibuat-buat.
Hah, menyesal aku membantu.
Tidak lama kemudian, menyusul Pak Setiawan. Guru ekonomi yang kini akan mengajar di kelasku. Beliau masuk lebih dulu ke kelas kami, senentara aku dan Jafar masih berkutat dengan puluhan buku-buku besar khusus pelajaran ekonomi itu.
"Ini punya kelas IPS 1?" tanyaku ketika membaca salah satu nama di buku besar itu.
"Iya, cok." Jafar menaik turunkan alisnya sembari tersenyum jahil. "Disuruh anter ke kelas IPS 1."
IPS 1 berarti kelasnya Iona.
Jafar mengetuk pintu kelas 12 IPS 1. Terdengar sebuah sahutan "Masuk!" dari dalam kelas. Dengan begitu, aku dan Jafar masuk ke kelas 12 IPS 1 membawa tumpukan buku besar ekonomi milik kelas mereka. Suasana kelas sedang sepi saat kami berdua masuk. Sekretaris tengah menulis di papan tulis sementara anak kelas lain menyalinnya. Seisi kelas langsung tertuju kepada kami berdua.
Termasuk Iona.
Dia duduk di barisan paling depan.
Kami meletakkan buku-buku itu di meja paling depan barisan paling dekat dengan pintu.
"Makasih, ya, Jafar!" ucap Iona.
"Yaa, sama-sama," balas Jafar.
Aku yang berdiri di belakang Jafar mencuri pandang kepada Iona. Ketika kami balik kanan hendak keluar, aku mendengar Iona mengucapkan sesuatu.
"Makasih juga, temennya Jafar," ucapnya.
Aku mengangguk sebagai balasan.
Saat pintu kelas 12 IPS 1 tertutup, tawa Jafar pecah.
"Ppftt haha! 'Temennya Jafar'!" Jafar mengulangi perkataan Iona tadi.
"Gapapa, soon dia bakal manggil nama gue langsung."
"Halah. Gimana dia mau manggil nama lo, lo aja belum kenalan sama dia, cok," cibir Jafar. Meneruskan tawanya sampai masuk ke dalam kelas.
'Temannya Jafar', panggilnya. Tidak apa-apa. Ini kemajuan bagus. Dia sudah menyadari keberadaanku. Aku pastikan lain kali kamu memanggilku dengan namaku langsung.
》《
Iona sedang sibuk diskusi dengan Ketua OSIS di kursi semen yang berada di tepian koridor sekolah. Dari tempatku berada, di pinggir lapangan, wajah seriusnya terlihat jelas. Sesekali ia menulis di buku catatan kecilnya yang senantiasa ia bawa. Sesudah beres berdiskusi, Iona membacakan catatan-catatan yang ia buat selama diskusi, untuk memastikan kembali. Ketua OSIS itu mengangguk-angguk, tidak menyangkal hasil diskusi yang Iona buat. Mereka pun berpisah. Ketua OSIS itu kembali ke kelasnya, sementara Iona berbelok ke koridor menuju perpustakaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever Silver ✔️
Ficção Adolescente[ semesta pertama ] Hidup telah menakdirkanku berada di posisi kedua sejak aku dilahirkan di dunia ini. Aku berpikir bahwa sekeras apapun aku berjuang, tempatku adalah di posisi kedua. Setinggi apapun langit, masih ada langit di atasnya yang jauh l...