15: Jalan di Tempat

17 10 0
                                    

Kalau divisualisasikan, prosesku itu jalan di tempat. Tidak ada kemajuan, namun juga tidak mundur. Aku tetap berinteraksi dengan Iona seperti sebelum-sebelumnya. Namun, ya begitu, 'seperti sebelumnya' artinya tidak ada yang beda. Kami berhubungan selayaknya teman biasa. Aku yang tidak punya petunjuk untuk mendekati perempuan secara romantis, dan Iona yang tampaknya tidak pernah peka dengan perasaanku.

Bila aku tiba-tiba bersikap romantis dan memberi perhatian berlebih padanya, aku takut Iona akan menjauh dan hubungan pertemanan yang aku mulai susah payah bisa-bisa merenggang. Aku tidak mau hal itu terjadi lagi. Cukup sekali saja.

'Pertandingan' ini berbeda dengan voli. Jauh lebih sulit. Pertama, aku tidak mengetahui cara permainannya. Kedua, aku tidak tahu kapasitas kemampuanku untuk memenangkannya. Ketiga, lawan bisa melakukan apapun untuk menang. Tidak seperti voli dan permainan olahraga lainnya yang memiliki aturan yang harus dipatuhi serta larangan yang harus dijauhi. Keempat, tidak ada batas waktu yang ditentukan. Bisa jadi ini berlangsung seumur hidup atau sampai Iona benar-benar menentukan pilihannya.

Terkadang, aku sedikit menyesal mengapa seluruh hidupku aku habiskan untuk voli sebelum bertemu Iona. Jadinya aku sama sekali buta petunjuk tentang cinta. Namun, ya, itu hebatnya Iona, bisa membuatku berpaling dari voli. Mampu membuat pikiranku yang awalnya cuma punya satu fokus menjadi bercabang: dirinya dan voli.

Sementara Roos, agaknya ia mengalami kemunduran. Iona terlihat sekali memperlakukannya berbeda. Iona berusaha tidak peduli pada Roos. Sering juga aku lihat Iona mengabaikan Roos seolah dia tidak ada. Padahal Roos berusaha menyapa atau mengajak ngobrol.

Aku tidak bisa senang dulu karena aku pun tidak membuat kemajuan yang berarti. Aku juga tidak bisa mengambil kesimpulan perasaan Iona untuk Roos sudah hilang. Sama seperti saat di permainann voli, sebelum lawan benar-benar kalah, aku tidak boleh lengah. Masih ada service yang mematikan, block yang kokoh, dan smash yang mampu menembus. Aku harus waspada.

"Gimana?" tanyaku pada Jafar usai ia keluar berhasil menembus kerumunan di depan papan pengumuman.

"Gak ...." Jafar menggeleng, menundukan kepalanya.

Aku menepuk pundaknya. "Gak apa-apa, semangat bro," ucapku.

"Tapi boong! Gue lolos, cok, hahahaha!" Jafar tertawa puas.

Tanganku reflek menonjok perutnya. Cih, sia-sia aku menyemangatinya tadi.

Jafar mengelap air matanya di sudut mata. Ia sangat senang bisa membohongiku rupanya.

"Selamat," kataku.

"Makasih, Mas Pram," balasnya.

Hari ini adalah pengumuman siswa eligible di sekolahku. Siswa eligible inilah yang bisa masuk seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri lewat jalur prestasi. Tidak semua orang bisa menjadi siswa eligible. Yang bisa masuk hanyalah orang-orang dengan nilai rapot yang terus meningkat sejak kelas sepuluh sampai kelas dua belas. Langganan peringkat satu sampai lima dari kelas sepuluh juga kebanyakan masuk siswa eligible. Aku sudah menduga Jafar akan menjadi siswa eligible. Sejak kelas sepuluh ia selalu mendapat peringkat lima besar. Aku bangga mempunyainya sebagai teman.

Di koridor sekolah ramai terdengar tangisan atau sorakan. Ucapan syukur atau ungkapan kecewa. Kata 'selamat' dan 'semangat' nyaris terdengar di bibir orang-orang setiap saat. Ekspresi sedih atau bahagia di wajah orang-orang. Begitu banyak konradiksi yang terjadi saat ini. Aku memperhatikan itu semua dari tepian sembari mataku mencari-cari seorang perempuan yang selalu aku nantikan kehadirannya.

Ah, itu dia di sana.

Tidak jauh dari papan pengumuman, di tepi koridor. Iona, Laura, Hana, dan Ayesha berpelukan. Mereka menangis, namun ekspresi wajah mereka bahagia. Tanpa melihat daftar nama siswa eligible di papan pengumuman, aku pun tahu kalau keempat sahabat itu berhasil menjadi siswa eligible semua. Aku tersenyum menyaksikannya. Ikut bahagia.

Forever Silver ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang