9: Hari Bersamanya

19 11 0
                                    

"Lo ini sebenernya apa?" tanyaku.

Sebenarnya aku tidak pernah mau tahu dengan urusan orang lain. Aku cuma peduli pada diriku dan orang-orang yang aku putuskan untuk pedulikan. Namun entah kenapa, hatiku tergerak untuk bertanya padanya. Selain karena penampilannya yang aneh di Minggu pagi begini, sorot matanya yang sayu menyuratkan rasa letih. Saat ini di hadapanku, dia bukan seperti Roos alias Howl yang punya banyak fans di sekolah; idaman para wanita yang jago berbicara halus pada mereka.

Roos yang saat ini aku lihat hanya seorang laki-laki biasa. Yang terlihat lemah dan kapan saja bisa tumbang.

"Lo lebih baik gak tau," jawabnya, lalu tersenyum hambar. "Lo mending lanjutin olahraga pagi lo itu. Anak kucingnya aman sama gue," ucapnya.

Aku mengangguk tipis, lanjut berlari pagi.

Aku juga tidak mengharapkan jawaban apa-apa dari pertanyaan yang keluar tanpa aku pikirkan dahulu itu.

Namun terbesit di benakku, bila pertanyaan "Lo gak apa-apa?" yang aku ajukan padanya, akankah jawaban yang ia berikan tetap sama?

"Lo lebih baik gak tau."

Roos Hanami, laki-laki populer idaman semua perempuan, aku melihat sisi lainnya hari ini.

》《

Pak Aziz, guru sejarah minat itu keluar kelas sepuluh menit sebelum bel istirahat pertama berderung. Itu sudah menjadi kebiasaannya. Wajar saja, ia mesti lelah menjelaskan materi sejarah selama tiga jam lamanya di kelasku. Kami pun tidak keberatan, karena itu berarti kami bisa ke kantin lebih dulu saat masih sepi. Itu tandanya kami tidak perlu berdesakan di kantin.

Aku beranjak dari kursiku seperti teman-teman sekelasku yang lain yang hendak ke kantin. "Ayo, Par," ajakku pada Jafar.

"Lo aja, cok. Gue ada bekel." Jafar meletakkan sebuah kotak makan di atas meja. Kotak makan berwarna ungu muda yang bermotif kepala beruang mungil di tengah-tengah tutupnya.

"Tumben? Mak lo bawain lo bekel?" tanyaku.

Jafar menggeleng. Ia membuka tutup kotak makan itu. Terlihatlah isi di dalamnya. Nasi putih, telur dadar yang digulung, nugget ayam, sayur capcay, serta susu kotak berukuran kecil. Itu bekal dengan gizi yang lengkap. Makanan-makanan itu ditata begitu rapi. Semua makanannya tampak menggugah selera.

"Laura," jawab Jafar seraya mengambil sendok. Ia mulai makan. "Mau gak, cok?" tawarnya.

"Gak. Laura buatin itu spesial buat lo," tolakku.

Ia cuma tersenyum paham.

"Lo sebenernya suka juga atau enggak sama Laura?" Pertanyaanku nyaris membuat Jafar tersedak. Ia segera minum.

"Gak tau. Gue belum yakin. Tapi yang jelas gue seneng kalo dia ngelakuin hal-hal kayak gini buat gue," ucapnya. Terdengar sungguh-sungguh. "Oh, ya, cok gue baru inget." Ia mulai mengalihkan pembicaraan. Jafar tidak pernah mau terlalu lama membahas tentang perasaannya.

"Apa?"

"Gue gak bisa nonton sama lo besok, cok. Gue harus nemenin ibu gue kontrol ke rumah sakit."

"Terus gimana? Tiketnya udah lo beli lewat online, 'kan? Bisa di re-fund?"

"Ngapain di re-fund, cok? Lo nonton aja."

Forever Silver ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang