Jafar Machiavelli. Itu nama belakangnya yang jarang aku sebutkan di kisah ini karena Jafar sendiri pun tidak begitu menyukai nama belakangnya-yang juga nama keluarganya. Sulit diucapkan, dan menurutnya tidak cocok dengan nama depannya. Padahal menurutku nama belakangnya keren, seperti nama-nama orang Italia.
Kala itu adalah masa-masa awal SMA, hari-hari MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah). Walaupun masih MPLS, aku perhatikan sudah banyak yang memiliki teman, mereka bahkan telah membentuk lingkaran pertemanan. Aku tidak mempunyai teman saat SMP. Ralat, aku tidak pernah mempunyai teman yang aku anggap 'teman' selama ini. Kemampuan bersosialku payah. Apalagi aku selalu merasa orang-orang menjauhiku karena posturku yang tinggi besar mengintimidasi mereka. Maka dari itu aku selalu sendirian. Teman tidak penting, pikirku saat itu hingga aku mengenal Jafar.
Selama MPLS aku berada satu regu dengannya. Dia adalah anak yang banyak omong, suka pamer kemampuannya, dan sangat narsis. Di hari pertama MPLS dia berhasil menarik perhatian banyak teman satu regu. Aku heran mengapa mereka menyukainya? Aku selalu menjaga jarak dengannya, berada sejauh mungkin darinya. Aku yakin aku tidak akan tahan berada di dekatnya meski cuma beberapa menit saja.
Aku tidak mau memiliki teman seperti dia.
Lalu hari kedua MPLS pun tiba. Saat itu sedang jam istirahat siang. Aku makan bubur ayam sendirian, duduk di pojok kantin. Ketika bubur ayamku tinggal setengah, Jafar datang, memesan bubur ayam lalu duduk di kursi kosong di hadapanku. Aku agak terkejut, padahal masih banyak kursi yang kosong. Ah, biarkan saja. Sedikit lagi bubur ayamku akan habis.
Bubur ayam pesanannya datang, ia tidak berkata apa pun sampai selesai meracik bubur ayamnya dengan sambal dan kecap.
Aku melirik mangkuk bubur ayamnya. Ia tidak memakai kuah kuningnya. Cih, orang normal macam apa yang makan bubur tanpa kuah kuning? Dasar psikopat.
"Nama lo Pramudya, 'kan?" tanyanya usai menyuap satu sendok.
Aku mengangguk.
"Nama gue Jafar." Ia mengulurkan tangannya.
"Oh," balasku singkat sambil menjabat tangannya.
Oh, sungguh aku berharap bel segera berbunyi dan mengakhiri jam istirahat. Aku tidak kuat berada di dekatnya meski sekadar tiga puluh detik lagi. Energiku rasanya terkuras berada di dekatnya.
"Gue liat gantungan kunci lo bentuk bola voli, lo suka voli?"
Saat awal-awal perkenalan kami, ia belum menggunakan imbuhan 'cok' di tengah atau akhir kalimatnya. Mungkin saat itu ia menjaga image.
"Ya," jawabku. Sudah jelas bukan aku suka voli dari bentuk gantungan kunciku?
"Kebetulan banget, gue juga suka voli!" Ia tiba-tiba bersemangat dari yang sebelumnya tampak tenang. "Gue denger dari kakak kelas gue tim voli sekolah ini bagus makanya gue masuk sekolah ini."
"Gue juga masuk karena itu."
Berbeda dengannya, aku diberitahu oleh pelatihku di klub voli."Bagus!" Ia semakin terlihat antusias. "Kita bakal masuk eskul voli bareng," ucapnya memutuskan begitu saja. Ya, memang, sih, itu juga rencanaku untuk masuk eskul voli. Tapi 'bareng-bareng'? Cih, seolah aku akan bersama-sama dengannya sepanjang eskul voli? Tidak.
"Oh, lo tau gak?" Ia merendahkan lehernya, berbicara dengan nada perlahan. "Gue denger-denger di tim voli ini bakal ada atlet voli muda yang ranking 2 se-provinsi, gila gak! Ranking dia di bawahnya Michael Kasep persis! Gue masuk tim voli sekolah ini juga mau nyari tau, se-hebat apa kemampuan si atlet voli muda ranking 2 itu? Apa cuma orang-orang aja yang lebay?"
Dia tampaknya tidak sadar sedang membicarakan atlet muda itu di hadapan orangnya langsung. Yang ia maksud itu adalah aku, tapi aku tidak akan mengatakannya. Aku beranjak berdiri, mengucapkan, "good luck."
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever Silver ✔️
Подростковая литература[ semesta pertama ] Hidup telah menakdirkanku berada di posisi kedua sejak aku dilahirkan di dunia ini. Aku berpikir bahwa sekeras apapun aku berjuang, tempatku adalah di posisi kedua. Setinggi apapun langit, masih ada langit di atasnya yang jauh l...