1: Hidupku dan Voli

73 16 2
                                    

Umurku enam tahun ketika mamah dan papahku bercerai. Aku baru masuk kelas 1 SD dan kakak perempuanku baru saja lulus SMA. Malam sebelum orang tuaku bercerai, mereka bertengkar hebat. Teriakan, barang-barang yang pecah, tangisan, samar-samar terdengar dari tempat aku dan kakakku sembunyi-di kamarku. Aku tidak tahu apa penyebab mereka bertengkar. Terlalu kecil untuk paham alasannya. Sepanjang malam itu kakakku menutupi kedua telingaku seraya memelukku erat.

Keesokannya, ketika baru pulang sekolah, aku mendapati mamah, papah, dan kakakku berkumpul di ruang makan. Mereka sepertinya telah menungguku. Mamahku yang pertama menghampiriku. Ia mengelus kepalaku lembut seraya berucap, "Pram, mamah dan papah sudah gak bisa bersama lagi .... Kamu mau ikut mamah atau papah, Nak?"

Mereka bertengkar, mengapa tidak berbaikan saja dan hidup bersama seperti semula? Pikiran polosku kala itu berkata begitu.

"Aku ... aku gak mau!" Aku berlari keluar rumah.

Terus berlari tanpa mempedulikan jalanan sekitar.

Aku berhenti ketika napasku mulai sesak. Ketika aku melihat ke sekelilingku, aku berada di tempat yang baru pertama kali aku datangi. Aku tidak tahu ada di mana aku sekarang. Tidak ada kakakku atau orang tuaku di belakangku. Aku tersesat.

Aku merasa cemas dan ketakutan.

Aku berjongkok, menekuk kedua kakiku. Aku memeluk lututku. Menundukkan kepalaku, hendak menangis. Namun ketika air mata pertamaku siap menetes, aku merasakan ada sesuatu yang menyentuh lututku. Aku mengangkat kepalaku. Sebuah bola.

"Eh, kamu! Tolong lempar ke sini, dong, bolanya!" panggil seorang anak dari kejauhan.

"Ini?" tanyaku. Anak itu mengangguk. Aku melemparnya sekuat tenaga. Bola itu sampai di dekatnya.

"Makasih, ya!"

Tanpa aku sadari, kakiku bergerak mendekat ke arah lapangan tempat anak tadi bermain. Aku tidak tahu permainan apa yang sedang mereka mainkan, namun itu tampak seru. Baru pertama kali aku melihat olahraga ini. Mirip seperti bulu tangkis karena mengenakan net. Tetapi bola yang dipakai bukan kok. Mereka juga menggunakan lengan mereka untuk mengoper bola itu dari satu orang ke orang lain.

Aku terpana dengan permainan ini. Terutama dengan anak yang tadi memintaku melemparkan bola kepadanya. Agaknya, dia begitu mahir dalam permainan ini. Badannya lincah menyelamatkan bola yang nyaris jatuh ke wilayahnya berkali-kali. Meskipun bajunya kotor dan wajahnya penuh goresan, tetapi ia tetap bersemangat. Dia sangat keren. Apalagi ketika ia melakukan gerakan melompat sambil memukul bola di awal permainan.

Mendadak aku lupa akan permasalahanku di rumah-penyebabku kabur sampai tersesat di sini.

Aku terus berdiri di tepi lapangan hingga permainan mereka usai.

Anak-anak itu berhamburan keluar lapangan. Seorang anak menghampiriku-itu anak yang tadi menerima lemparan bolaku.

"Rumah kamu di mana? Aku kok baru ngeliat kamu. Kamu anak pindahan, ya?" tanyanya ramah.

"Oh, enggak. Aku ... lagi main-main aja di sekitar sini." Aku tidak bisa bilang, 'kan, kalau aku sebenarnya tersesat?

"Mmm ... tadi kalian main apa?" tanyaku.

"Tadi kita min voli. Kamu mau nyoba main?"

"Tapi aku gak bisa ...." ucapku dengan suara mengecil.

"Tenang aja, aku bakal ajarin."

"Bener? Kamu serius bakal ngajarin aku?" Aku memastikan lagi.

Anak itu mengangguk yakin.

"Kalo gitu, aku pengen kamu ajarin aku gerakan pas kamu lompat terus mukul bola. Itu keren banget."

"Itu namanya jump serve. Boleh, ayo sini aku ajarin!" ajaknya.

Petang itu, aku menghabiskan waktu bermain voli dengannya. Juga petang berikutnya, dan berikutnya lagi. Terus berlanjut hingga aku cukup percaya diri untuk melawannya di sebuah permainan. Kala itu, berkat pertemuanku dengannya dan voli, aku kembali yakin menemukan arah hidupku-yang awalnya nyaris hilang akibat perceraian kedua orang tuaku.

Tetapi, pertemananku dengan anak itu tidak berlangsung selamanya. Suatu hari di sebuah petang, seusai bermain voli seperti biasa, ia memberitahuku kabar buruk. Ia dan orang tuanya akan pindah ke pulau sebrang.Ia mengucapkan salam perpisahan pada teman-teman volinya, termasuk diriku. Sebelum pergi, ia memberikanku sebuah gantungan kunci berbentuk bola voli. Kenang-kenangan katanya.

Sejak petang menyedihkan itu, aku tidak pernah lagi bertemu dengannya.

Namun perpisahan itu tidak membuatku berhenti bermain voli. Aku semakin serius bermain voli dan menemukan bahwa passion-ku memang di sana. Siapa tahu, suatu hari nanti, aku dan dia dipertemukan lagi karena voli. Seperti bagaimana aku dan dia bertemu untuk pertama kali.

"Hah ... kira-kira di mana, ya, dia sekarang?" gumamku seraya menatap langit-langit gedung olahraga.

"Dia siapa cok?" tanya Jafar, temanku.

"Ah, kepo aja, Lo," cibirku. Aku bangkit, menyudahi istirahatku. Mengambil sebuah bola yang menganggur.

"Oh, gue tau. Pasti temen masa kecil lo itu, 'kan, yang bikin lo jatuh cinta sama voli? Ya 'kan, cok?"

Jafar adalah satu dari sedikit orang yang tahu tentang kisah masa kecilku itu. Meskipun menyebalkan, Jafar merupakan kawan yang dapat dipercaya.

"Lo pilih diem atau gue gebok terus gue ancurin kacamata lo itu," ancamku.

Jafar tertawa. Ia mengambil posisi lima meter di hadapanku. Kami saling mengoper dengan passing bawah.

Di gedung olahraga sekolah ini hanya tersisa aku dan Jafar. Kegiatan eskul voli telah selesai satu jam lalu. Aku malas pulang ke rumah, lebih tepatnya aku malas pulang ke rumah dan mendapati rumah kosong. Lebih baik aku pulang telat agar kakakku sampai rumah lebih dulu. Dengan begitu aku tidak merasakan perasaan kosong ketika sampai rumah.

Awalnya aku hanya sendiri, kemudian Jafar memutuskan bergabung. Dasar tukang ikut-ikut.

BUK! BUK!

Pintu gedung olahraga digedor kencang. Bola yang dioper Jafar ke arahku tidak sempat aku tangkap sebab aku keburu mengalihkan pandanganku pada pintu. Seseorang masuk. Siapa? Satpam sekolah?

"Ya ampun, udah jam berapa ini!?"

Sial, dia lebih seram dari satpam sekolah.

"Ayo, pulang!"

"Eh, Iona ... hehehe ... iya, ini udah mau pulang, kok. Kita lagi bersih-bersih ...." Jafar menyengir sambil mengepel lantai ruangan.

Sejak kapan dia megang pel!?

Aku buru-buru memungut bola. "Iya, betul .... Biasalah adek kelas suka seenaknya aja pulang."

Dia Iona, Ketua Komite Kedisiplinan Siswa di sekolah.

Dia tidak berkata apa pun. Berkacak pinggang di depan pintu. Aku (pura-pura) sibuk bersih-bersih. Tetapi aku dapat merasakan ia mengawasi pekerjaan kami dengan tatapan tajamnya yang intens.

Lima menit kemudian, aku dan Jafar kompak menghentikan sandiwara ini. Kami merapikan alat-alat, mematikan lampu, dan keluar ruangan. Iona berjalan lebih dulu di depan kami, melanjutkan omelannya.

"Ini udah ketiga kalinya, loh, eskul voli latihan lewat dari jam yang udah ditentukan. Sekali lagi ketauan, saya bakal lapor ke Waka Kedisiplinan," tegas Iona.

"Iya, maaf. Soalnya minggu depan kami ada turnamen grand final lawan SMK Barakuda." Jafar mencoba menjelaskan.

Iona tidak bergeming.

Begitu Iona pergi menjauh dari pandangan kami, Jafar setengah berbisik padaku. "Lo sengaja, 'kan, pulang telat biar dimarahin sama Iona?"

Melihatku tidak memberikan reaksi apa-apa selain senyum tersipu, Jafar cekikikan.

Ia berseru, "Dasar bucin!" sebelum melaju pergi dengan motornya.

》《

Forever Silver ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang