Sesaat usai bunyi letusan pistol pertama, penjaga di hadapanku tumbang. Peluru menembus tepat di jantungnya. Tidak berselang lama, terdengar rentetan tembakan lainnya. Semua penjaga di hadapan kami tumbang tanpa sempat membalas balik.
Refleks aku dan Roos saling menoleh, wajahnya tampak terkejut juga ketakutan. Aku yakin mimik wajahku juga tidak jauh beda dengannya. Ini kali pertama aku melihat orang tewas di hadapanku akibat ditembak. Menyaksikan bagaimana timah panas itu menembus jantung mereka, merenggut nyawa mereka sekedip mata, membuat bulu kudukku merinding.
"Roos! Pram!"
Suara seorang gadis membelah kesunyian yang ditimbulkan usai bising akibat suara pistol. Kami berdua menoleh ke belakang. Gadis yang sama-sama kami kenal. Iona berlari ke arah kami. Kondisinya tampak baik-baik saja. Tidak ada luka di tubuhnya. Cuma rambutnya yang agak berantakan, tapi secara keseluruhan ia baik-baik saja. Aku bersyukur melihatnya kembali tanpa luka.
"Iona!" seru kami berdua, nyaris berbarengan sialnya.
"Kalian gak apa-apa?" tanya Iona, memandang kami bergantian.
"Gue gak apa-apa," jawabku. Mataku menangkap tangan Iona yang dengan cepat memasukkan sebuah pistol ke saku rok seragamnya.
Roos tidak bersuara, tapi ia mengangguk menjawab pertanyaan Iona. Kami saling bertukar pandang sejenak. Matanya menyuratkan keterkejutan yang begitu kentara. Ia pasti melihat bagaimana Iona memasukkan pistol ke saku rok seragamnya.
"Tapi Roos muka lo bonyok gitu? Lo kenapa?" Iona menatap Roos penuh khawatir. Tangannya menyentuh pipi Roos yang membengkak dan lebam.
"Gak apa-apa. Gue abis ditonjok gorila laut." Roos melirikku tajam. Aku balas meliriknya tajam sebelum memasang penutup wajah.
Iona mengernyit heran, tetapi tidak membahas hal itu lebih lanjut. "Ayo," ajak Iona.
"Lo kenapa nyusul ke sini? Bukannya kita bakal ketemuan di ruang mesin?" tanyaku usai menyingkirkan Roos—membuatnya berjalan di belakangku sementara aku berjalan di sisi Iona.
"Gue liat dari cctv kalo ada penjaga yang menuju ke ruangan Roos, makanya gue juga ikutin ke sini," jawabnya sembari mengarahkan pistolnya setiap kali kami berbelok ke sebuah lorong.
Aku memiliki perasaan campur aduk melihat Iona seperti ini. Di satu sisi, aku sangat terpukau olehnya. Ia tampak sangat keren hingga jantungku tak berhenti berdebar keras sejak kemarin. Saat ini ia mirip dengan hero perempuan yang biasa aku mainkan di game perang atau karakter sampingan anime bergenre aksi. Namun, di sisi lain rasa takut serta penasaranku muncul. Bagaimana bisa Iona melakukan itu semua? Menembak dari jarak jauh, bersikap tenang di situasi genting, dan hal keren lainnya yang tidak aku duga akan dilakukannya. Seolah ia sudah terbiasa dengan situasi seperti ini.
Iona mengangkat tangan kanannya, menghentikan langkahnya. Aku turut menghentikan langkahku.
"Akh!" Roos meringis pelan. Kepalanya terbentur helm yang aku pakai. "Kenapa?" bisiknya.
"Ke situ," ucapku menerjemahkan isyarat tangan Iona. Kami bersembunyi di sebuah lorong sempit. Iona berada paling depan, berposisi siap dengan pistol di tangannya yang terarah ke ujung lorong. Roos berada di tengah, sementara aku berada di paling belakang.
Dor! Dor!
Dua tembakan tepat mengenai masing-masing kaki seorang penjaga yang hendak masuk ke lorong tempat kami sembunyi. Penjaga itu tumbang. Walaupun begitu tangannya masih bergerak untuk meraih sesuatu di saku rompinya. Sebelum penjaga itu berhasil mengambil apapun benda yang ada di saku rompinya, bunyi tembakan menggema lagi. Kedua tangan penjaga itu tertembak. Ia terkapar tidak berdaya. Iona yang melumpuhkan penjaga itu seorang diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever Silver ✔️
Teen Fiction[ semesta pertama ] Hidup telah menakdirkanku berada di posisi kedua sejak aku dilahirkan di dunia ini. Aku berpikir bahwa sekeras apapun aku berjuang, tempatku adalah di posisi kedua. Setinggi apapun langit, masih ada langit di atasnya yang jauh l...