29: Gugur

13 10 0
                                    

Mataku membelalak. Bibirku terperangah. Aku lupa bernapas untuk beberapa detik. Pandanganku buram sesaat akibat terlalu syok. Semua itu terjadi begitu cepat.

Roos jatuh tertelungkup di hadapanku bersimbah darah. Setelan serba putih yang dikenakannya kini ternodai oleh warna merah.

"ROOS!" Teriakan Iona yang menggema di lorong membuatku tersadar. Iona berlari menuju Roos. Aku tidak pernah melihat Iona sepanik itu. Ia meletakkan senapannya, lalu membalik tubuh Roos perlahan. Iona bersandar pada dinding sementara kepala Roos diletakkannya di pahanya.

Melihat pemandangan menyedihkan itu, aku bergegas berputar balik. Aku berlari mengejar pecundang yang menyerang Roos dari belakang itu. Untuk beberapa saat, aku melihat siluet seorang penjaga yang berjalan cepat menuju lorong yang lain. Itu pasti dia pelakunya.

Tidak butuh waktu lama bagiku menemukannya. Ia terjebak di ujung lorong yang buntu. Tanpa menunggu lagi, aku berlari menuju dirinya. Tanganku telah mengepal. Aku pastikan tinjuanku mendarat lebih dulu sebelum ia mengangkat senjata di tengah kepanikannya. Dan ya, berhasil. Orang itu jatuh tersungkur. Tubuhnya membentur dinding.

"Kenapa lo ngelakuin itu? Kenapa!?" tanyaku, menarik kerah bajunya hingga tubuhnya terangkat.

"Pelurunya meleset. Harusnya itu mengarah ke lo." Ia mengeluarkan pistol dari kantung celananya. Pistol itu ia arahkan padaku.

Kakiku otomatis mundur beberapa langkah darinya. Aku turut mengeluarkan pistol dari saku celanaku. Aku tidak mau melakukannya lagi. Sungguh. Tapi jika ia benar-benar menarik pelatuk itu, aku terpaksa melakukannya. Kedua tanganku memegang erat pistol yang aku arahkan padanya.

Ia membalikkan arah pistolnya menuju dirinya sendiri. Sesuatu yang tidak kuduga.

Aku menurunkan pistolku.

"Dadah." Kata terakhirnya sebelum ia membuka mulutnya, memasukkan pistol, lantas menarik pelatuknya. Dor! Darah memuncrat dari kepalanya ke dinding di sekitarnya.

Detik itu juga, perutku merasa mual luar biasa. Butuh seluruh kekuatanku untuk tidak memuntahkan isi perutku saat itu juga. Selepas berhasil membuat diriku sedikit tenang, aku keluar dari lorong itu lalu kembali ke lorong tempat Iona dan Roos berada.

Oh, astaga. Keadaannya tidak menjadi lebih baik. Baju putih Roos menjadi semakin merah dibanding terakhir kali aku lihat. Iona menatapku dengan pandangan sengsaranya. Kakiku kehilangan kekuatannya untuk menopang tubuhku ditatap begitu oleh Iona. Itu adalah tatapan kesedihan yang paling menyakitiku. Tidak ada harapan di matanya lagi.

Napas Roos tidak teratur. Ia menyadari kehadiranku. Bibirnya terangkat sedikit. Satu hal ironi yang aku sadari adalah: mata Roos mendapatkan cahayanya lagi di saat penghujung hidupnya.

"Iona, Pram. Rasa sakit ini bikin gue sadar dari  obat itu," ucapnya. Ia menarik napas, lalu terbatuk. Darah sedikit keluar saat ia batuk. "Iona, gue kangen sekolah. Walaupun di kelas gue gak pernah aktif kayak lo, tapi gue suka sekolah. Bikin gue merasa normal kayak anak lainnya." Kedua ujung bibirnya tertarik ke atas. Ia tersenyum tipis. Matanya tak lepas dari memandangi Iona. "Gue mau pulang ke rumah. Gue mau liat bunga-bunga gue lagi, Iona."

Iona turut tersenyum walau air mata telah berhasil turun membasahi pipinya. "Iya, lo bakal sekolah lagi dan liat bunga-bunga lo," ucap Iona meskipun ia yang paling tahu bila ucapannya memiliki kemungkinan sangat kecil untuk jadi nyata.

"Gue boleh nyentuh wajah lo?" tanya Roos. Ia mengelap telapak tangannya ke pakaiannya yang belum terkena bercak darah.

Iona mengangguk cepat.

"Gue buat lo nangis lagi. Maaf, ya," tutur Roos. Tangannya mengelap air mata Iona yang terus membasahi pipinya. Iona menggenggam tangan Roos yang menyentuh wajahnya. "Tolong baca ini kalo lo sudi." Roos mengeluarkan sebuah amplop dari kaus putih yang ia kenakan. Amplop yang semestinya berwarna putih itu terdapat bercak-bercak merah darah.

Forever Silver ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang