Telefonku sudah tersambung dengan Jafar. Nada 'tut ... tut ...' terdengar. Beberapa detik kemudian, telepon diangkat. Suara yang amat kukenali menyapa dari balik telepon di seberang sana.
"Oi, Pram. Ada apa, cok?"
"Gimana kabar Ibu lo?"
"Beliau udah mendingan, sih, sekarang. Besok gue kayaknya bisa masuk. Kalo besok gue gak masuk, kasian, cok, keadaan kelas kehilangan ketuanya yang sangat berwibawa ini. Apalagi lo pasti kangen berat sama gue kan cok?"
"Seharusnya lo berenti ngomong abis lo ngabarin ibu lo. Gue nyesel nelpon." Aku hendak menekan tombol merah di ponselku sebelum Jafar berseru menahan dari balik telepon sana.
"Eh, jangan, dong, cok! Tadi ada tugas apa aja?"
"Bentar." Aku meraih tas sekolahku yang berada di ujung tempat tidur. Aku membuka satu persatu buku-buku pelajaran hari ini dan mengetikkannya di kolom chat-ku dan Jafar. "Udah gue kirim list tugasnya lewat chat," ucapku.
"Oke, matur suwun mas Pram." Terdengar suara goresan pensil di atas kertas. Mungkin di sana Jafar sedang menulis list tugas ke sticky notes atau buku tugasnya. Setelah selesai, ia memulai percakapan kembali. "Jadi?" tanyanya.
"Jadi apa?" Aku heran.
"Lo ada interaksi apa hari ini sama Iona, cok?" Gue baca tweet¹ lo yang terbaru itu."
Aku menceritakan semua yang terjadi denganku dan Iona hari ini. Mulai dari Iona yang menabrakku saat pagi, aku menemukan gantungan kunci Kuroo miliknya, mengetahui fakta bahwa aku dan Iona memiliki kesukaan yang sama, dan Iona memberiku sebuah susu kotak yang sampai saat ini belum aku minum. Lantas aku juga menambahkan tentang Roos yang aku lihat beberapa hari lalu saat malam itu dan keinginanku untuk berteman dengan Iona.
Aku menyampaikan semuanya pada Jafar seperti seorang reporter yang melaporkan berita terkini kepada pemirsa penonton.
"Menurut lo, gimana caranya biar gue bisa berteman sama Iona? Biar gue deket sama Iona?"
"Lo ini beneran gak pernah deketin cewek sebelumnya, ya?"
"Gue gak pernah suka atau deket sama cewek mana pun sebelum Iona."
"Aduh, kasian banget, sih, bro gue yang ini, cok. Dasar maniak voli. Tapi tenang aja, Jafar di mari, urusan cinta bisa diatasi. Anjay."
Aku mendecih seraya memutar bola mataku.
Jafar mulai memberikan saran dan tips padaku. Aku sesekali berdeham untuk menyautinya.
"Itu aja, sih, saran dari gue. Menurut gue, ya, ngajak Iona berteman itu gak susah. Dia anaknya friendly dan open. Apalagi lo punya kesukaan yang sama kayak dia, gue yakin dia bakal nerima lo jadi temen. Tapi inget, tujuan lo berteman. Jangan ngelangkahin batas sebagai teman, kecuali waktunya udah pas," pesan terakhir Jafar sebelum menyudahi sesi konsultasinya.
"Thanks, saran-saran lo," kataku. "Oh, iya, mendingan lo besok masuk."
"Tuh, 'kan, lo kangen sama gue pasti, cok."
"Bukan. Diem dulu. Ada yang nyariin lo tadi. Cewek yang bakal selalu excited ngeliat kehadiran lo di sekolah."
"Siapa, cok?"
"Gue kira lo gak se-bego ini." Aku mendengus. "Laura, lah. Siapa lagi coba?"
"Oh, dia ...." Jafar diam sejenak.
"Lo gak ngabarin dia emang kalo lo gak masuk?"
"Enggak. Ngapain? Gue juga gak punya nomornya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever Silver ✔️
Ficção Adolescente[ semesta pertama ] Hidup telah menakdirkanku berada di posisi kedua sejak aku dilahirkan di dunia ini. Aku berpikir bahwa sekeras apapun aku berjuang, tempatku adalah di posisi kedua. Setinggi apapun langit, masih ada langit di atasnya yang jauh l...