Televisi di ruang duduk rumahku menyala, namun tidak ada yang menonton. Aku sibuk mengobrol dengan teman kakakku. Meskipun begitu telingaku masih mendengar ucapan reporter di dalamnya tengah sibuk melaporkan berita tentang prostitusi yang melibatkan anak di bawah umur. Berita yang sayangnya sudah bukan hal yang mengejutkan lagi. Di kehidupan kota yang serba cepat dan kekayaan materi di atas segalanya merupakan derajat tertinggi, orang akan melakukan apa pun demi mendapatkan uang untuk memenuhi gaya hidup hedonismenya.
Yang duduk di hadapanku ini adalah teman kakakku juga rekan kerja kakaku. Aku biasa memanggilnya Bang Juna. Dia satu perusahaan dengan kakakku, namun dia berada di bagian pemasaran. Perawakannya tinggi besar dan wajahnya yang tidak ekspresif sehingga membuatnya terlihat mengintimidasi. Tetapi meskipun begitu, ia merupakan pendengar dan pemberi nasihat yang baik.
Contohnya sekarang, ia menyimak keluh kesahku tentang kegalauanku terhadap Iona dan Roos sejak lima belas menit yang lalu.
"Jadi gue harus gimana, Bang?" tanyaku ketika ceritaku berakhir.
"Lo berharap bisa jadi pacar Iona?"
Bang Juna mengajukan pertanyaan. Aku berpikir sejenak. "Gak berharap banget, sih. Gue sadar diri. Cuma, ya, gak bakal nolak juga kalo Iona suka sama gue-walaupun itu mustahil."
"Coba berteman aja sama dia. Setidaknya lo bisa ada di dekatnya dan kenal dia lebih jauh." Bang Juna akhirnya mematikan televisi. "Urusan perasaan dia ke lo gimana, itu belakangan. Bisa deket dan berteman sama orang yang lo suka ... udah cukup, 'kan seharusnya buat lo?"
Aku merenungkan kata-kata Bang Juna. Iya, benar juga, sih. Ketimbang diam saja dan melihat interaksi Iona dan Roos yang semakin dekat, mengapa aku juga tidak mencoba berteman saja dengannya? Menjadi teman yang mendengarkan ceritanya, menjadi teman yang dimintai saran, menjadi teman yang selalu ada untuknya. Mengapa tidak?
Tapi, bagaimana caranya? Bagaimana aku memulainya? Aku memang beberapa kali berbicara dengan Iona. Obrolan kami yang paling panjang adalah saat pertandingan voli terakhirku. Sisanya hanya percakapan biasa yang tidak menunjukkan aku berteman dengannya. Hanya sekadar kenalan dari kelas lain.
Aku tidak pernah dekat dengan perempuan sebelumnya. Jarang juga aku bisa mengobrol dengan perempuan. Cuma Iona seseorang yang menarik perhatianku selain voli.
Tatkala aku sibuk memikirkan cara untuk berteman dengan Iona, aku mendengar suara langkah kaki yang familiar mendekati pintu rumahku. Kakakku sudah kembali dari minimarket. Aku loncat dari sofa, berlari secepat kilat menuju lantai atas-ke kamarku. Bisa bahaya kalau kakakku tahu aku dari tadi curhat dengan Bang Juna bukannya belajar untuk PTS terakhir besok.
Sesampainya di kamar, aku mengirimkan pesan kepada Bang Juna lewat ponselku.
Pram
Makasih bg sarannyaJgn bilangin kk klo gua td abis curhat sm lu y
Bang Juna
Aman 👍🏽Aku tidak minat lagi membaca buku-buku pelajaran yang berserakan di atas meja belajarku. Malam ini aku akan memikirkan bagaimana caranya untuk berteman dengan Iona. Aku bisa mengulang materi pelajaran besok pagi saat subuh.
》《
Hasil rapot PTS-ku biasa saja, tidak buruk dan tidak terlalu bagus juga. Semua melampaui KKM, walaupun ada satu dua mata pelajaran yang nilainya sangat mepet dengan KKM. Aku bisa mengikuti latihan di klub voli seperti biasa.
Parkiran motor dekat sekolah masih sepi. Aku datang terlalu pagi sepertinya. Tidak apa-apa, biasanya kalau pagi-pagi ada Iona yang berjaga di gerbang untuk mengecek kelengkapan seragam siswa-siswi. Aku berjalan santai menuju sekolah sambil memutar lubang gantungan kunci motorku di jari telunjuk. Aku bersenandung kecil. Ternyata datang pagi tidak begitu buruk. Suasana sekolah masih sepi, udara segar, belum terkontaminasi dengan polusi dan napas orang munafik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever Silver ✔️
Novela Juvenil[ semesta pertama ] Hidup telah menakdirkanku berada di posisi kedua sejak aku dilahirkan di dunia ini. Aku berpikir bahwa sekeras apapun aku berjuang, tempatku adalah di posisi kedua. Setinggi apapun langit, masih ada langit di atasnya yang jauh l...