Song recomended: You Belong With Me by Taylor Swift
"Kalo lo mau balikan sama cewek ular itu, lo jauhin Laura mulai dari sekarang," ucapku tegas, berjalan pergi meninggalkannya.
Jafar mengikutiku sampai ke depan rumahnya, tempatku memarkir motorku.
"Pram! Nada cuma bantuin gue aja, dia udah berubah," ujarnya di kala aku sibuk memakai helm dan menaiki motorku. "Dia udah minta maaf sama gue soal kejadian itu, gue juga udah maafin dia. Lagian, tiap orang berhak 'kan dapet kesempatan kedua?"
"Lo cuma mau balikan, 'kan, sama dia?" Jafar tersentak mendengar pertanyaanku. Pertanyaanku telah terjawab secara tak sadar. "Terus selama ini lo anggap Laura apa? Lo cuma jadiin dia pelampiasan doang? Jangan-jangan lo selama ini manfaatin kebaikan Laura aja?"
Ia bungkam. Aku geram dibuatnya. Diam berarti jawabannya adalah iya. Ia membenarkan semua pertanyaan yang lebih merujuk kepada pernyataan itu.
"Sia-sia lo ngasih kesempatan ke cewek itu. Dia gak akan pernah ngasih lo kebahagiaan, kecuali yang palsu," timpalku lagi supaya semakin mengguncang hati Jafar. "Ada Laura yang jauh lebih baik buat lo. Sadar!"
"Kalo gitu, kenapa bukan lo yang sama Laura aja? Dari pada lo terus-terusan ngejar Iona yang gak akan pernah lo gapai itu? Sadar, bodoh!" Akhirnya Jafar membuka suara. Dan harus aku akui itu cukup menyakitkan mendengar kata-kata itu dari mulutnya. "Berhenti ikut campur sama masalah percintaan gue. Lo bukan siapa-siapa gue."
"Gue pikir kita temen," pungkasku sebelum menutup kaca helm dan menarik gas motorku sekencang-kencangnya. Meninggalkan rumah Jafar.
Bukan maksudku mencampuri urusan percintaan Jafar, bukan. Aku hanya berusaha menjauhkannya dari patah hati. Maksudku, jika ada Laura yang dapat memberinya kebahagiaan mengapa ia memilih bersama orang yang terus menyakitinya? Perasaan manusia memang rumit. Aku juga tidak ingin membuatnya melukai perasaan Laura, aku tidak mau Laura mengalami hal yang serupa denganku. Tampaknya aku terlambat, Laura sudah terlanjur menyerah Jafar pun tak kunjung sadar.
Melihat orang-orang di sekitarku, termasuk aku sendiri, mengapa orang yang mencintai duluan selalu merasa sakit? Dan juga orang yang dicintai justru tidak pernah sadar diri? Semua urusan cinta ini seolah lingkaran setan yang tak berujung. Apakah tidak ada dua insan yang saling mencintai dengan tulus tanpa menyakiti satu sama lain? Astaga, apakah bahkan sesuatu yang disebut 'cinta sejati' itu benar-benar ada? Papah dan Mamahku pun menikah, pernah mengucap janji untuk saling mencintai seumur hidup. Tapi apa yang terjadi? Mereka bercerai.
Aku sudah muak.
Aku juga kesal pada diriku sendiri yang turut terjebak pada perasaan ini. Aku harus menghentikan semua ini.
Lampu depan rumahku menyala, tidak ada mobil kakakku yang terparkir di halaman depan. Dia belum pulang. Akhir-akhir ini ia sering pulang larut malam sekali dan pergi pagi-pagi sekali. Ia bilang sedang banyak pekerjaan belakangan ini.
Aku mengecek ponselku. Ada 2 panggilan tidak terjawab dan 4 pesan dari kakakku. Sepertinya ia menelepon saat aku sedang di jalan tadi. Aku meneleponnya balik, berharap belum terlambat.
"Sorry, gua tadi lagi di jalan jadi gak kedengeran. Lu lembur lagi?" tanyaku begitu telepon diangkat olehnya.
"Gua bakal pergi selama dua minggu, urusan pekerjaan. Gua udah transfer ke rekening lu. Jangan sering-sering beli makan di luar, sempetin masak."
"Iya, iya. Lu sendiri? Apa sama Bang Juna?" Aku mendengar suara klakson dari balik telepon. Kakakku sedang dalam perjalanan.
"Sama siapa lagi emangnya kalo bukan gue." Suara berat Bang Juna menginterupsi percakapan kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever Silver ✔️
Ficção Adolescente[ semesta pertama ] Hidup telah menakdirkanku berada di posisi kedua sejak aku dilahirkan di dunia ini. Aku berpikir bahwa sekeras apapun aku berjuang, tempatku adalah di posisi kedua. Setinggi apapun langit, masih ada langit di atasnya yang jauh l...