5: Bukan Pemenangnya

25 13 0
                                    

Hari ini terjadi lagi.

Sialnya itu terjadi di depan mataku lagi.

Sebelum pulang, Roos menyapa Iona. Iona membalasnya. Tidak lupa tatapan matanya yang berbinar di kala menatap Roos. Semua rangkaian kejadian itu terekam jelas di otakku dan kini memori itu mengganggu pikiranku.

Aku telah bercerita pada Jafar perihal ini. Responnya adalah: "Ah, itu, mah, perasaan lo aja kali. Emang lo aja yang mikir begitu."

Cih, sangat menyebalkan. Dia bisa bilang begitu karena tidak pernah berada di posisiku; posisi orang yang mencintai. Kalau ia menyadari Laura menatapnya dengan cara yang sama seperti Iona menatap Roos, akankah dia masih bilang itu cuma 'perasaan' saja.

Aku mem-pause video yang tengah aku tonton ketika mendengar bel rumahku berbunyi. Aku melirik jam di dinding. Pukul setengah sembilan malam, itu pasti kakakku. Segera aku meluncur ke bawah, menuju pintu rumah.

"Makanan udah diangetin?" tanya kakakku begitu masuk ke rumah. Ia langsung menuju dapur.

"Udah, Bos," jawabku.

Aku mengikutinya. Duduk di salah satu kursi meja makan lantas melanjutkan menonton video pertandingan tim sekolahku melawan tim SMK Barakuda kemarin. Videonya baru diunggah hari ini. Aku cepat-cepat menonton. Selain untuk menyaksikan sendiri performaku saat bermain dan menganalisis trik tim lawan, ada satu hal yang mau kupastikan. Iona. Aku ingin mencari tahu di mana ia duduk saat pertandingan.

"Itu pertandingan lu kemarin?" Kakakku muncul di sampingku, ikut menonton.

"Iya."

Selanjutnya kakakku ikut menonton sambil mengomentari permainan tim sekolahku maupun permainan tim lawan. Aku menanggapinya seadanya. Mataku fokus mencari Iona di antara para penonton yang duduk di tribun. Biar kuingat, waktu itu Iona memakai celana jeans denim dengan kaus berwarna putih yang bergambar sebuah kupu-kupu di tengahnya. Beberapa detik kemudian, aku menemukannya. Di barisan dua dari belakang. Ia duduk di tribun yang dibelakangi oleh timku saat bermain. Pantas saja aku tidak bisa melihat kehadirannya saat itu.

Senyumku tak bisa pudar menyadari bahwa Iona menyaksikan pertandingan terakhirku.

》《

Motorku aku parkir di sembarang tempat di lapangan parkir. Melepas helm dan meletakkannya di kaca spion. Aku berlari menuju gerbang sekolah. "Mang, tolong rapiin, ya!" pintaku pada tukang parkir. Ia mengangguk paham.

Lapangan parkir motor terpisah dengan sekolahku. Tidak jauh tapi aku harus tetap berlari secepat mungkin.

Aku telat. Sekarang sudah pukul setengah delapan. Aku bangun kesiangan karena kakakku tidak membangunkanku. Sepertinya ia berangkat pagi-pagi sekali dan ada kerjaan mendadak. Ia tidak sempat mengurusku. Jadilah usai mandi bebek dan mengendarai motor secepat kilat, aku sampai di sekolah.

Gerbang sekolah dibuka oleh satpam, tetapi sudah ada guru piket yang berjaga di baliknya. Ia menatapku garang. Pulpen serta buku catatan telah berada di tangannya. Matanya bergerak cepat membaca badge nama dan badge kelasku lantas mencatatnya di buku catatan siswa yang telat.

"Kamu kenapa telat?"

"Saya ketiduran, Bu," jawabku tersenyum kaku.

"Bajunya rapiin. Dasinya pake," perintahnya. "Tasnya taruh sini, kamu sekarang lari lima putaran," tambahnya.

Aku melakukan semua perintahnya kemudian pergi ke lapangan untuk menjalankan hukuman. Di lapangan sudah ada seorang siswa lain yang menjalankan hukuman. Oh, itu dia. Padahal dia adalah orang terakhir yang wajahnya aku inginkan di pagi yang buruk ini. Ia semakin merusak pagiku. Si penjajah. Roos Hanako.

Forever Silver ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang