Sejak meninggalkan bangunan D'Excecutive, Iona duduk memunggungiku. Kepalanya bersandar pada jendela, matanya fokus menatap jalanan. Samar-samar suara isakan terdengar sepanjang perjalanan. Aku tahu tangisannya belum berhenti sejak ia keluar dari kamar itu. Aku merutuki diriku sendiri karena tidak tahu bagaimana cara menenangkannya.
Ketika sudah keluar dari wilayah itu, aku memberhentikan mobil di depan sebuah warung.
"Gue ke warung dulu," pamitku pada Iona yang tidak ditanggapinya.
"Bu, beli tisu satu sama air mineral satu, ya," ucapku pada ibu penjaga warung.
Setelah barang yang aku minta diambilkan oleh ibu penjaga warung, aku membayarnya. Aku tidak langsung masuk ke mobil. Aku duduk di kursi kayu panjang yang ada di depan warung. Aku butuh waktu sebentar untuk memikirkan apa yang mesti aku lakukan di situasi ini. Aku yang mengajak Iona, jadi aku juga yang mesti bertanggung jawab.
Dari sini, aku dapat melihat siluet bayangan Iona. Ia masih bersandar pada jendela mobil. Posisinya tidak berubah sejak aku meninggalkan mobil. Lehernya pasti sakit bila terus-terusan begitu.
"Hah ...." Aku mengembuskan napas.
Pasti rasanya menyakitkan menjadi Iona, mengetahui orang yang ia suka selama ini ternyata adalah seorang ... pelacur. Reaksiku juga tidak jauh beda dengan reaksi Iona setelah mencari tahu informasi yang berada di kartu nama itu. Roos Hanami, seorang laki-laki yang menjadi idaman para wanita, memiliki banyak fans di sekolah, rupanya seorang pelacur kelas atas. Itulah yang membuatku pernah berharap supaya Roos tidak menyerah dengan Iona, supaya kemungkinan terburuk tidak terjadi pada Roos. Tapi takdir berkata lain; sesuatu yang menjadi 'kemungkinan terburuk' terjadi pada Roos. Roos menyerah. Dengan berat hati aku mesti mengantar Iona menuju patah hati terbesarnya.
Aku merasa bersalah. Namun, aku juga tidak bisa mengkhianati kata-kataku. Aku sudah berjanji pada Roos. Aku tidak akan heran bila sehabis ini Iona membenciku. Aku ... sudah siap menerimanya.
Roos sudah mengungkap jati dirinya pada Iona, menjelaskan semuanya. Namun masih ada hal yang belum disampaikan Roos pada Iona: perihal Roos yang juga memiliki perasaan yang sama dengan Iona. Aku yakin di kalimat terakhir itu Roos akan jujur soal perasaannya, tetapi cewek gila itu tiba-tiba datang dan menginterupsi pembicaraan Roos. Kedatangannya juga turut memperkeruh suasana. Cewek gila itu pasti juga bagian dari dunia gelap itu. Aku yakin.
Usai menyiapkan tenaga, aku kembali ke dalam mobil.
"Iona, ini buat lo."
Aku berpikir Iona tidak akan menanggapiku lagi. Di luar dugaanku, Iona menoleh. Menatap sebotol air mineral dan sebungkus tisu yang aku sodorkan padanya. Lantas, ia menatapku.
"Makasih," ucapnya dengan suara parau.
Ia meneguk air mineral sampai sisa setengah. Secara perlahan ia mengelap air mata yang membasahi pipinya. Aku merasa sedikit lega melihatnya berhenti menangis. Ia juga merespon ucapanku.
"Roos ... dia pasti ngelakuin itu karena ada sesuatu yang memaksa dia begitu. Dia gak pantas ada di dunia itu. Gue yakin," ucap Iona. Suaranya sudah membaik.
"Alasan?" gumamku, menatap jalanan di hadapan kami. Belum menekan pedal gas. "Kayaknya gue tau ... mungkin." Sedikit ragu, tetapi aku harus mencobanya. Cuma itu alasan yang masuk akal.
Iona menatapku bertanya-tanya. Aku yakin sejak awal aku memberikan kartu nama itu yang diberikan Roos kepada Iona, serta bagaimana aku memandu Iona untuk mencapai Roos di hotel itu, Iona pasti sudah heran. Bagaimana bisa aku tahu banyak tentang Roos? Tetapi Iona memilih untuk tidak mengutarakan rasa penasarannya. Sungguh, Iona. Aku juga heran mengapa aku tahu banyak hal tentang Roos. Bahkan hal-hal yang belum kau ketahui tentangnya, aku sudah lebih dulu tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever Silver ✔️
Fiksi Remaja[ semesta pertama ] Hidup telah menakdirkanku berada di posisi kedua sejak aku dilahirkan di dunia ini. Aku berpikir bahwa sekeras apapun aku berjuang, tempatku adalah di posisi kedua. Setinggi apapun langit, masih ada langit di atasnya yang jauh l...