Tenanglah, hanya angin yang membukanya. Siapa yang mau mengunjungi toko lusuh ini di sore hari.
Angin badai mulai meraja di luar. Pintunya segera aku tutup dan kembali mengecek saklar lampu.
Ctak.
Sekarang sudah bisa dinyalakan. Mungkin tadi hanya korsleting. Yang perlu aku lakukan adalah menyusun tepung yang ku beli tadi di tempatnya.
Begitu selesai dan mendapati toko sangat kosong, aku benar benar merasa ada yang kurang hingga membuat toko benar benar sepi.
Aku diam di balik konter sambil meneliti detail lingkunganku. Pasti ada yang aku lupakan.
Ah...
Ya, itu dia.
"Oh, kamu sudah pulang? Ah, aku kira kamu masih di luar. Ponselku rusak, aku menyusulmu karna aku kira kamu tersesat..."
Aku membawakan handuk dan air hangat untuk Reverse. Dia duduk terengah engah di meja dekat vending machine.
"Jadi itu kenapa toko ini begitu kosong..." Lirihku dengan suara sekecil mungkin.
"AAAAAAHHH, LELAAAAH!!" Reverse menggeram. Pasti dia berlari lari tadi.
"Maafkan aku, aku menumpang dengan teman untuk pulang."
"Oh, kamu sudah punya teman?"
"Hanya beberapa."
"Eh, itu dihitung tau. Kenapa tidak bilang?"
"Tidak ada yang bertanya."
"Cukup relate..."Reverse mengangguk angguk.
"Bagaimana ponselmu bisa rusak?" Tanyaku sambil berjalan mengambil lap, segera mengelap konter.
"Cih, kau tak akan percaya. Aku menjatuhkan ponselku saat berjalan kemarin, lalu seorang anak SMA tak sengaja melindasnya dengan motor. Aku berterimakasih karna dia sadar kesalahan. Aku tak begitu memikirkannya selama dia sadar dan meminta maaf, tapi ponselku remuuuuuk!"
"Ah...maaf."
"Maaf kenapa?"
"Aku pikir yang melindas adalah temanku."Lalu Reverse mengeluarkan suara seperti heek? Sambil mengerjapkan matanya yang membulat dengan sempurna.
"Candaanmu tidak lucu, hentikan." Katanya kemudian.
"Aku pikir aku tidak bercanda."
"..."Lengang.
Di luar, badai mulai menburuk. Angin semakin kencang, dan gerimis mulai berubah menjadi hujan berangin.
"Yah...lupakan deh. Anyway, tolong telepon Yu-wan, ya. Suruh dia pulang nanti saja, badai di luar tidak mungkin dengan cepat selesai."
Aku mengangguk, segera membuka ponsel.
Namun sebelum jariku sempat menyentuh layar, Yu-wan lebih dulu menghubungiku."Halo...hey, Boboiboy. Di sini sedang badai, apa badainya sampai ke toko?"
"Ya."
"Kalau begitu aku tidak bisa pulang segera. Kamu tolong buatkan air jahe, 10 atau 15 menit lagi Reverse pasti flu berat. Tolong, ya. Daaah!"Lalu sambungan ditutup.
Aku melakukan apa yang diminta Yu-wan. Terkadang aku berpikir dia lebih baik menjadi wanita rumah tangga. Maksudku, daya ingatnya luar biasa untuk mengingat semua kebiasaan di toko, bahkan kebiasaan pribadi Reverse.
Tangannya selalu lincah dalam memasak seperti peralatan dapur adalah temannya sendiri. Dan dia mengenal toko ini dengan baik. Dia hafal semua sudut toko di luar kepalanya. Dia tau semua detail toko. Bahkan noda yang tak sengaja terciprat ke dinding. Dia tau semua letaknya.
Badai reda sekitar 1 atau dua jam setelah telepon itu. Di luar masih turun rerintik gerimis. Yu-wan pulang lima belas menit lalu, dia sedang istirahat.
Aku duduk di tangga depan toko, melihat orang berlalu lalang di bawah satu dua rintik hujan. Berbeda dengan di Korea, wangi hujan begitu pekat terasa di sini. Meski sedikit bercampur bau aspal, wanginya berbeda. Wangi hujannya lebih pekat, dan aku senang dengan wangi itu.
Mengingatkanku pada sesuatu. Entahlah, aku tak terlalu ingat apa sesuatu itu.
Beberapa orang lewat dengan jas hujan, atau payung. Desing kendaraan tak berhenti meski gerimis membungkus kota. Beberapa anak kecil menikmati rintikkan ini meski sedikit lumpur untuk dilempar. Mereka berlompatan menuju genangan sekadar untuk merasakan kesenangan. Lucu.
Sesekali pula ada orang yang berlari kecil karna lupa membawa payung. Bergegas pulang atau mencari tempat teduh. Beberapa menikmati sensasi berjalan di bawah hujan tanpa payung.
Setengah jam terasa cepat sementara aku duduk menikmati gerimis kota. Dingin, namun menghangatkan di saat yang sama. Lalu puncaknya, ketika hujan semakin menderas, dan kalian bisa merasakan tahapan saat gerimis menjadi hujan. Saat suara rintik menjadi sesuatu seperti kretek di atap sana. Saat aroma hujan menjadi lebih pekat.
Itu menenangkan.
Namun lalu aku mengingat Ibu. Senyum kecilku yang telah bertahan selama setengah jam (lebih sepertinya) hilang kemudian. Masih dengan mata tertutup, masih dengan menikmati suara dan aroma hujan, aku mengingat bagaimana Ibu menemaniku mendengarkan hujan.
"Kamu menyukai suara Hujan, Boboiboy?" Tanyanya. Aku mengangguk, semakin mempercepat deru napasku, agar aromanya semakin cepat masuk ke dalam rongga hidungku.
"Ada yang mengatakan bahwa hujan adalah tangisan Imoogi." Aku menyeritkan dahi mendengarnya. 𝘉𝘦𝘯𝘢𝘳𝘬𝘢𝘩?, demikian maksud ekspresiku.
Ibu tersenyum, senang karna aku tertarik dengan topik yang sembarangan dicomotnya.
"Beberapa orang bilang, Imoogi menangis karna danau, laut, sungai, dan irigasi kotor oleh limbah, sampah plastik atau lainnya. Air tak lagi bersih tanpa filter, secara teknis tempatnya bersemayam menjadi kotor. Bagi penyuka Imoogi, seperti kamu, pasti tidak suka jika tempatnya kotor, kan? Dia menangis, bukan karna tempatnya menjadi kotor, tapi karna tak ada lagi yang meyakininya sampai air menjadi tempat pembuangan." Ibu menjelaskan.
"Air ini, konon adalah air matanya. Air suci yang jernih, tak terkena kotoran apapun sebelum menyentuh tanah. Air yang tak terkontaminasi apapun. Air yang menjadi saksi bahwa Imoogi memang ada."
Ibu menghela napas, menatap jendela yang terbuka lebar. Menatap hujan membasahi kota Seoul.
"Tapi, semuanya hanya mitos, sayang. Namun bisa juga ini adalah paradoks. Semuanya adalah misteri, maka jika kamu mau percaya, percayalah pada apapun yang kamu yakini."
Aku kembali menatap jalanan yang basah lewat jendela. Memikirkan kalimat Ibu yang kini tengah mengusap kepalaku.
Aku tak bisa membantah, aku juga manusia. Meski emosi dan ekspresiku belum normal sepenuhnya, aku masih bisa merasakan perasaan. Aku juga bisa rindu.
Maka dengan hati yang ikut menghujan, aku menggulung bibir, merasakan kembali usapan kepala itu. Merasakan bagaimana hangatnya senyum Ibu yang sabar terhadap anak tunggalnya yang bahkan tak bisa berbicara dengan lancar.
Bibirku bergetar seiring hujan semakin menderas. Begitu pula hatiku. Hujan di dalam semakin deras hingga mengalahkan suara kretek air menghantam atap.
Sebagaimana hujan menderas, maka hujan menderas pula dari mataku. Bendungan hatiku hancur, meski tak lama untuk menambalnya, namun tetap butuh waktu.
Udara mungkin mendingin, namun semakin menghangat untukku. Sehangat bagaimana Ibu selalu membawakan selimut untukku saat sedang menatap hujan dari jendela. Sehangat bagaimana dia mengganti kaus kakiku dengan yang lebih tebal saat salju menjadi tumpukan benda halus putih di halaman rumah, untuk ku tatap melalui jendela.
Maka dengan desing kendaraan yang terdengar bersamaan dengan suara dan aroma hujan yang menenangkan, hujan dari mataku ikut turun seiring hujan menghantam wajahku.
Ibu, hari ini hujan.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐈𝐦𝐨𝐨𝐠𝐢 𝔹𝕒𝕜𝕖𝕣𝕪 // 𝙱𝚘𝚋𝚘𝚒𝚋𝚘𝚢 -𝚁𝚎𝚟𝚎𝚛𝚜𝚎 // ᴹᵞᵀᴴᴼᴸᴼᴳᵞ ᴬᵁ
FanfictionTerpaksa menerima pernikahan kedua sang Ayah, seorang remaja tanggung hidup bagai di gerbang neraka bersama Ibu tirinya yang selalu menunjukkan kekuasaan dan Adik perempuannya yang tak tahu cara membela diri. Tertuduh membuat adiknya trauma berat, B...