Chapter 26~ ᴛᴏᴏ ʀɪᴄʜ.

98 21 1
                                    

"Seok Jae, Ibumu datang."

Hari itu sekitar jam 10 ketika anak anak di SD sudah kembali ke rumah mereka. Seok jae dan aku adalah anak terakhir. Tapi sekarang itu hanya aku.

Guruku menawarkan untuk pulang bersamanya, namun aku menolak tawaran itu dengan singkat. Tentu saja hanya dengan menggeleng.

Aku bergegas pergi ke depan pintu, memakai sepatuku dan melepaskan topiku lalu berjalan malas malasan keluar dari gerbang SD. Guru sempat memanggilku, namun aku tidak menghiraukannya. Toh, jika dia memang benar ingin menghentikanku, harusnya dia bergegas berlari dan menggandeng tanganku kembali ke SD. Guru yang aneh.

Aku berhenti di persimpangan yang lumayan jauh dari SD. Aku lupa jalan pulangku. Seingatku itu ke kanan, namun sesuatu seperti memanggilku untuk pergi ke gang sebelah kiri. Jadi aku mengikuti kata hatiku dan pergi ke gang di sebelah kiriku.

Ketika sudah cukup jauh, barulah aku sadar aku seharusnya pergi ke gang di sebelah kanan. Aku tersasar. Di kanan kiriku hanyalah rumah lusuh yang sepertinya tidak ditinggali oleh siapapun, melainkan ditinggali apapun. Aku yakin kamu mengerti.

Mungkin kamu pernah dengar sebuah lagu yang punya lirik tentang berjalan ke depan, aku pun begitu di umurku saat itu. Harapanku, dengan aku berjalan ke depan, aku akan sampai ke rumah meski melewati jalan yang salah. Terlalu naif, ya?

Itulah, aku juga berpikir begitu.

Akhirnya aku berbalik dan kembali lagi ke SD. Entahlah yang mana arah ke rumah. Aku jadi berpikir apa Ibu mencariku. Sudah siang begini, haruskah aku pergi ke kantor polisi terdekat?

Sempat terpikir untuk menunggu di halte bis yang dekat dengan toko berplang Imoogi, namun aku pikir aku pergi ke kantor polisi saja.

Setengah jalan, aku berhenti di tengah tengah trotoar. Ada perkelahian antar remaja SMA di depan. Banyak polisi, dan jelas sekali aku tidak bisa lewat. Apa yang harus aku lakukan? Entah, deh. Dengan bodohnya aku malah duduk di pinggir trotoar. Itu tindakan bodoh. Sangat.

Hampir satu jam aku menunggu, remaja remaja itu masih berkelahi, Polisi memutuskan mengeluarkan gas air mata. Remaja remaja itu langsung berhamburan ke sana kemari, lebih banyak ke arah yang berkebalikan denganku, namun jumlah yang berlari ke mari lebih banyak.

Mereka tidak melewati trotoar jadi aku masih diam saja, Polisi mulai berlari, menangkapi mereka. Tapi sepertinya salah seorang remaja lebih pintar dari yang lainnya.

Dia menarik tanganku, mengayunkan senjata tajamnya ke arah dua polisi di depan, lalu mengarahkan sajam itu tepat di depan leherku.

"Menjauh atau anak ini mati." Kata remaja itu dengan suara bergetar. Aku menatap dua polisi itu, mereka pasti tengah berpikir cepat. Hey, meskipun aku punya sejumlah penyakit dan kekurangan, tidak ada yang salah dengan otakku.

"AAARGH!" Remaja itu berteriak saat aku menggigit tangannya. Sajamnya terjatuh, dan aku segera berlari ke belakang salah satu dari dua Polisi itu. Yang satu lagi bergegas menangkap si remaja.

Kemudian aku terpikir lagi, sekarang seharusnya aku masih tertidur di sofa dengan kipas angin di samping Ibu yang membaca buku.

Hhh...

✎✎✎

"Kamu tidak takut, Nak?" Aku menggeleng. Polisi tadi memberikanku sebatang lolipop dengan ukuran besar, tapi bagaimana ya, nanti gigiku sakit.

Ibu sedang menangis di koridor, Polisi sedang menanyainya mengapa dia membiarkanku pulang sendiri, sebenarnya, itu bukan kesalahan Ibu.

Ayah semakin menyiksa Ibu dari hari ke hari, jika saja Ibu mau melaporkan Ayah atas tuntutan KDRT, Ibu bisa bebas, hidup dengan tenang. Tapi sudah di titik ini saja Ibu masih mempertahankan Ayah.

Ibu selalu bilang itu atas dasar cinta. Ketika aku meminta bukti atas cinta itu, Ibu selalu menjawab, "Kamulah bukti cinta Ayah dan Ibu.", hingga bahkan aku hapal intonasinya. Sungguh bosan betul aku mendengarnya.

Aku dan Ibu pulang di sore hari, Ibu menggendongku sambil sesenggukan selama perjalanan, beberapa orang memperhatikan kami.

Ibu terus meminta maaf padaku sambil sesenggukan. Momen yang terlalu awkward, aku hanya diam sepanjang jalan.

✎✎✎

D

ia tidak bohong ketika dia bilang dia membeli pesawat jet. Gulfstream G550 itu berdiri dengan gagah. Jet ini termasuk pesawat jet pribadi tercepat meski kecepatannya agak jauh dari North American X-15 yang menempati peringkat pertama pesawat jet tercepat di dunia.

Ini gila. Harga Gulfstream G550 dalam mata uang rupiah bisa mencapai Rp. 888 Miliar. Maksudku, hey, untuk apa jet ini? Mau ditempatkan di mana?
...

Urusannya simpel, hanya mengurus surat kepemilikan dan melihat fasilitas jetnya, lalu langsung pulang.

"Gila, dia benar benar membeli pesawat jet." Aku bergumam setelah mengambil soda dari vending machine di pojok toko. Duduk.

"Hahaha, reaksiku mirip denganmu saat dia membeli Mansion seharga 1 Miliar Won. Cash."

Aku langsung tersedak sementara Yu-wan tertawa.

"Yang kamu ketahui saat ini, baru sepertiga rahasia toko. Sekarang kamu juga tahu, pemilik toko ini lebih kaya dari yang kamu kira." Yu-wan menyodorkan setoples kue.

"Cobalah, kue lokal. Aku pikir namanya kue putri salju. Dapat resep dari internet."

Aku mengambil sepotong kue, lalu menatap kue itu lamat lamat. Dia bahkan punya Mansion, mengapa masih tinggal di sini?

Namun ada yang lebih penting lagi untuk dipertanyakan. Jika memang semuanya sudah tercukupi, untuk apa lagi dia membuka toko? Mengapa dia mau susah payah mengeluarkan keringat dan tenaga kesana sini, berurusan dengan segenap orang egois, bahkan sering dihina atas hasil yang mengerikan. Parah lagi, bahkan kami harus pindah Negara karna menjalankan bisnis aneh.

Jika itu bukan untuk uang, lalu untuk apa?

Yu-wan tiba tiba menghela napasnya. Cukup kasar dan berat, hingga aku mendengarnya dengan jelas.

"Aku tau kamu sedang berpikir apa, Boboiboy. Kamu juga suka terpikirkan oleh buku yang ada di kamar bawah, kan? Kalau kamu bisa menyelesaikan buku itu, kamu akan mengerti mengapa toko ini ada." Ucapnya dengan intonasi sendu.

"Di luar itu, semua barang kelas atas yang Reverse beli itu hanya karna dia bosan. Tidak akan pernah dipakai juga. Jadi aku mohon kamu katakan padanya, hentikan hobi anehnya sebelum dia membeli barang barang yang tidak perlu. Jangan jangan dia juga mau membeli Negara." Yu-wan beranjak, kembali ditelan oleh dapur.

Dapur adalah sahabatnya, di sanalah Yu-wan menghabiskan harinya, dia tidak masalah berdiri seharian dan menggunakan seluruh tenaganya untuk menggiling, memanggang, dan menghias roti dan kue.

Mungkin dia seharusnya bisa menjadi Ibuku.

𝐈𝐦𝐨𝐨𝐠𝐢 𝔹𝕒𝕜𝕖𝕣𝕪 // 𝙱𝚘𝚋𝚘𝚒𝚋𝚘𝚢 -𝚁𝚎𝚟𝚎𝚛𝚜𝚎 // ᴹᵞᵀᴴᴼᴸᴼᴳᵞ ᴬᵁTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang