Chapter 37~ɴᴏᴛ ᴛʜᴇ ᴘʟᴏᴛ!

110 22 3
                                    

Orang orang bilang, mereka senang melihat kamu tersenyum. Atau setidaknya, mereka senang, melihat kamu jatuh pada mereka.

Kamu mempercayai orang lain, baiklah, itu adalah hal wajar biasa, namun, apa kamu tau apa dasar kepercayaan itu?

Kamu yang menanamnya, atau mereka?
Kamu yang menyuburinya, atau mereka?

Apakah kamu berada di bawah tangan mereka? Apakah kamu malah mereka tempatkan di belakang mereka?

Kenapa?
Kamu baru memikirkannya sekarang?
Apa kamu pikir itu tidak terlalu terlambat?

Aku pun pernah sekali dua kali salah mempercayai orang.

Orang pertama, Ibu.

Dia selalu memperlakukanku sebagai anak yang sejajar dengannya. Dia tau perasaanku meski aku tak mengekspresikannya. Ibu benar benar mengerti aku. Tapi akhirnya dia menyerah atasku. Ibu tak sanggup melihat wajah yang kucoba latih untuk tersenyum lebih lama. Ibu tak sanggup lagi  menemaniku berdiri di cermin. Ibu tak lagi sanggup mengantongi batu batu yang ada di jalanku.

Ibu, kamu dengar aku? Kamu kalah kuat dariku.

Orang kedua, Ayah.

Dari awal pun, sudah terlihat dia termasuk antagonis dari hidupku, kan? Namun pernah meski hanya sekali aku mempercayai Ayah.

Itu tepat saat Ibu di makamkan. Dia mendatangiku di pojok ruangan di samping foto Ibu dan meja bunga. Saat itu banyak sekali yang berkabung dan mereka menangis di depan foto Ibu. Aku bisa melihat bahwa kesedihan mereka hanyalah emosi temporer yang akan hilang dalam semalam. Besoknya juga mereka akan tertawa cekikikan lagi.

Saat jam menunjukkan pukul 10 malam, aku duduk bersimpuh di sisi kanan meja bunga. Ayah mendatangiku dengan semangkuk sup ayam tanpa nasi.

Ketika aku lihat dia mendekat aku langsung berdiri untuk menghormatinya.

"Duduk, Nak." Dia lalu sedikit menekan bahuku agar aku duduk.
"Aku belum lihat kamu makan. Tapi nasi sudah habis, petugas belum memasak lagi. Kamu makan sup dulu, kalau sudah ada nasi nanti Ayah bawakan lagi." Katanya sambil duduk di sampingku. Aku mengangguk, melakukan seperti yang Ayah katakan.

"Kamu pasti sangat sedih"
"Iya"
"Kamu sangat dekat dengan Ibumu"
"...Iya"

Aku pikir Ayah akhirnya mengerti aku dan mau menyebrangi zona nyaman yang dibangunnya selama ini. Tunas percaya itu akhirnya memunculkan batangnya.

"Apa kamu ingin Ibu baru?"

Lalu batang tunas itu layu seperti tunas tauge di dalam gelas yang tidak pernah disirami hingga kapasnya kering.

Ayah bukannya mau menyebrangi zona nyamannya untuk menghampiriku, melainkan Ayah membawa zona nyamanku ke zona nyaman miliknya dan memaksaku untuk masuk ke teritorialnya.

Itulah dua kali kesempatan di mana aku salah mempercayai orang. Lalu apakah aku pernah mempercayai orang lagi setelah itu? Tentu saja, namun aku membatasi meteran kepercayaanku sendiri.

Aku tak membiarkan tunas itu tumbuh lebih dari 2 centimeter.

Bagaimana dengan kamu saat ini? Tidakkah kamu pikir kamu perlu memilah lagi orang yang ingin kamu berikan benih kepercayaan milikmu? Kamu tak berpikir benih itu terlalu berharga untuk sebagian orang, kan?

Kamu pikir semuanya akan menghargai kamu.

Jangan lihat ke dalam mata mereka, mereka akan sadar kamu sedang memilah orang yang ingin kamu percayai. Perhatikan saja tingkah laku mereka sambil kamu bertingkah seakan kamu jatuh pada mereka.

Nanti kamu tahu sendiri bagaimana bedanya dengan orang orang yang pantas kamu berikan benih percaya kamu.

Sudahkah aku menerapkan cara itu? Tentu saja, sudah. Apa aku menuai hasil dan orang orang yang dapat ku percaya? Tentu saja. Aku menemukan dua orang yang dapat ku percayai sepenuh hati.

𝐈𝐦𝐨𝐨𝐠𝐢 𝔹𝕒𝕜𝕖𝕣𝕪 // 𝙱𝚘𝚋𝚘𝚒𝚋𝚘𝚢 -𝚁𝚎𝚟𝚎𝚛𝚜𝚎 // ᴹᵞᵀᴴᴼᴸᴼᴳᵞ ᴬᵁTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang