Ares mencekram kuat stir mobilnya sebelum memukulnya kuat. Berusaha melampiaskan emosi juga amarahnya yang terasa membakar seluruh tubuhnya.
Meski berkali-kali dia melakukan itu, tetap saja rasa marahnya tak kunjung reda. Malah kian terasa membakar seluruh tubuhnya hingga dia memilih membelokkan mobilnya ke pinggir jalan. Menepikannya, setelahnya keluar dari dalam mobil, menutup pintu mobil kuat-yang lagi-lagi melampiaskan kekesalannya. Namun lagi-lagi tak berhasil, amarah itu tak kunjung reda, apalagi saat ingatannya kembali mengingat Alyzaa.
Dia kembali marah, kembali kesal hingga menendang kuat ban mobilnya.
Sial.
Dia benar-benar marah sekarang, namun tidak tahu harus melampiaskan pada siapa. Karna itu dia memilih pergi, meninggalkan Alyzaa dan keluar dari rumah.
Dengan emosinya seperti sekarang ini, dia tidak yakin bisa tetap diam ketika berhadapan dengan Alyzaa. Yang mana-dia lah orang yang memancing emosinya seperti sekarang ini.
Setelah berjalan mondar-mandir di sisi mobil, Ares kembali masuk ke dalam mobil. Duduk diam di sana dengan kepala menengadah ke atas. Duduk di sandaran kursi dengan kepala kian terasa ingin pecah.
Ketika emosinya belum reda, marahnya masih membakar dada. Dering ponsel di saku celananya menarik perhatiannya. Membuat dia merogoh benda itu dan menatapnya lama.
Jika yang menghubunginya itu adalah Alyzaa, mungkin dia bisa saja melempar benda pipih itu. Kembali kesal karna emosinya. Tapi sayangnya, yang menghubunginya kali ini adalah mamanya. Wanita yang telah melahirkannya ke dunia.
Menarik nafas dalam, menghembuskannya perlahan. Ares menekan segala perasaan kesalnya, mengangkat panggilan ibunya dan mendengarkan segala ucapan wanita itu.
Dan disinilah Ares sekarang, duduk di hadapan mamanya dan adik mamanya Tante Windi.
"Tante sudah dengar semuanya dari mama kamu."
Ares hanya diam, melipat kedua tangannya dan mengamati Tante Windi yang sedari tadi juga diam.
"Kenapa kamu gak cerita ke Tante, Res?"
Ares mendesah, membenarkan letak duduknya dan menjawab. "Semua udah selesai, Tan. Gak ada lagi yang perlu di ributkan."
"Ada."
"Wid." Tegur Dwita saat mendengar suara pekikan adiknya.
"Mbak." Widia menoleh ke arah kakaknya. "Mbak tahu apa yang mbak lakukan ini?"
Tidak ada sahutan dari Dwita, dan semua itu membuat Windi semakin kesal. "Jangan bodoh, mbak. Jangan mengulangi kesalahan yang sama."
"Kalau aja keluarga mas Pandu dengar kabar ini, mereka gak akan tinggal diam."
"Apanya yang gak akan tinggal diam?" Sahut Ares.
Windi berdecak, menatap Ares kesal. "Jangan pura-pura gak tahu, Res. Kamu jelas tahu apa yang tante katakan."
"Aku memang gak ngerti dengan apa yang tante katakan."
"Res!"
"Memangnya apa lagi sih masalah kita? Ada masalah apa lagi? Semua udah benar kayak gini."
"Semua ini itu masalahnya ada di kamu."
"Aku?" Ares menatap tantenya bingung. "Memangnya ada apa dengan aku?"
Windi berdecak sinis. "Kalau aja kamu menikah dengan wanita lain, bukan Alyzaa, Tante gak akan ikut campur dengan masalah kamu."
"Alyzaa? Memangnya kenapa dengan Alyzaa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Turun Ranjang (SELESAI)
Romance"Pengkhianatan, luka dan juga rasa sakit yang mendalam. Membuat ku lebih tegar dari yang mereka bayangkan." Alyzaa. "Nyawa harus dibalas dengan nyawa! Maka akan aku pastikan kamu sama menderitanya layaknya kehilangan nyawa!" Ares. ***