1. Tetangga Baru

637 52 11
                                    

From : ibrahimafnan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

From : ibrahimafnan.mail.com

To : almaydshafiza.mail.com

Assalamualaikum, Alma ...

Kenapa kamu nggak pernah balas email Kakak lagi? Atau mungkin kamu sibuk? Tapi setidaknya kamu sempat baca email Kakak ya? Aneh rasanya, dulu setiap hari Kakak dengar cerita kamu. Bahkan di tempat yang sama, kita saling balas email.

Alma, di email ini Kakak mau sampaikan kalau Kakak masih tunggu kamu. Untuk semua jawaban kamu dan kepulangan kamu.

Bis bald, Alma!

Seorang pria menutup wajah tegasnya dengan dua tangan yang menopang di meja. Entah darimana tumbuhnya perasaan resah. Tak terhitung berapa kali ia membaca deretan email itu, rasanya masih tetap sama. Merasa kehilangan, bersama dengan kekhawatiran yang tak kunjung reda.

Kata orang, hujan selalu punya cerita dan hujan menyimpan kenangan. Perlahan uap air jengah itu turun, bahkan angin yang datang sejak tengah hari tak mampu mengusir awan pekat. Jakarta gelap. Kaca-kaca gedung pencakar langit terhias rinai yeng merosot satu per satu.

Pria itu gelisah dengan ritme hatinya setiap kali awan mendung datang. Pikirannya selalu mengarah pada seseorang di Hamburg. Jemarinya terus menggulir email untuk seseorang yang tak kunjung ada balasan sampai detik ini, saksi untuk penantiannya yang tak kunjung usai. Setiap hari, tanpa pernah absen, dia selalu mengirimkan email-email tanpa pernah ada jawaban. Dan yang bisa dilakukan hanya membaca ulang dan mengenang. Kenangan itu selalu hadir dengan baik saat sendiri. Terlepas dari kesibukan dan kewibawaannya sebagai Chief Executive Officer sebuah startup. Seorang sangunis berubah menjadi seorang melankolis sebab satu wanita.

Seorang wanita yang sampai detik ini masih ia harap kehadirannya kembali.

~~~~~~~~~~

Perempuan berjilbab. Ada dua pilihan ketika bel rumah berdering dan terdengar suara seorang pria. Pertama, sibuk mencari sesuatu untuk dijadikan jilbab. Kedua, memilih sembunyi dan membiarkan orang lain membuka pintu.

"Einen moment bitte!" sahut seorang wanita muda. Meski begitu, bel tetap saja berbunyi. Ia mendumal sebal. Seharusnya teman-teman satu koridor asrama akan paham, jika bertamu ke kamarnya maka harus sabar menunggu dirinya berkerudung dulu.

Gadis itu memilih opsi pertama, sibuk mencari apapun untuk menutup diri. Sebab mustahil opsi kedua, dia hanya sendirian. Mukena corak bunga-bunga yang sudah ada dalam keranjang cucian adalah hal yang ia pandang pertama, maka secepat kilat ia memakai itu dan membuka pintu.

"Guten Morgen!" sapa tamu di depan begitu ceria.

Pelan, namun pasti. Dahi gadis itu berkerut, matanya menelisik pria di hadapannya yang tersenyum cerah di tengah cuaca hujan. Pria itu mengangkat paper bag berlogo restoran halal di dekat kampus.

"Kak Ibram?"

Afnan tersenyum, panggilan 'Kak Ibram' selalu ia suka. Seperti panggilan khusus dari seorang Almayunda. Ibram, diambil dari Ibrahim di awal namanya.

"Kenapa Alma? Kaget? Kamu buru-buru ya? Mukena kamu sampai miring gitu," kelakar Afnan membuat Alma secepat mungkin membetulkan mukenanya. "Kamu itu nggak belajar dari yang lalu-lalu, ya?" ujar Afnan tertawa ringan.

"Maksud Kakak?"

"Bercanda, Alma! Santai dong mukanya, jangan serius banget!" Afnan tertawa puas.

Refleks Alma memukul lengan Afnan sampai pria itu meringis. Alma merengut. Dalam hati ia mengutuk Afnan yang senang datang tiba-tiba dan menjahilinya.

"Kayaknya kamu butuh tulisan 'tunggu sebentar, pemilik kamar sedang pakai jilbab', biar nggak kayak tadi lagi," ujar Afnan.

"Good idea!" timpal Alma. "But now, kenapa Kak Ibram tiba-tiba ada di sini? Bukannya Kak Ibram tinggal di apartemen, ya?" Alis Alma naik satu, aneh dengan kehadiran Afnan di tempatnya.

"Ratet mal, warum bin ich hier?" (Coba tebak, aku di sini ngapain?)

Mata Alma menyipit. "Jangan bilang Kak Ibram ke sini-"

"Sengaja, mau ketemu kamu," jawab Afnan cepat.

Alma mendadak mengheningkan cipta. Mata bulat berbinarnya mengerjap-ngerjap. Sedangkan Afnan mengalihkan pandangan, berusaha sekuat mungkin menahan tawa. Gadis yang sudah ia kenal sejak SMA itu selalu membuat jantungnya berdegup tak tentu arah. Alma terlalu berwarna untuk hidupnya yang monokrom.

"Kamu kaget ya? Atau kamu udah ge-er duluan-"

"Nggak ada ya, Kak! Alma biasa aja!" Nafas Alma sampai memburu. Namun respon Afnan sungguh membuat ia jengkel. Pria itu malah tertawa puas.

"Jangan kesal duluan, Al ... masih pagi. Kakak mau ngurangi beban kamu. Nih, Kakak bawa sarapan. Gini-gini, Kakak peduli sama kamu. Karena Kakak tahu kamu suka perih lambung." Dengan cool-nya, Afnan mengulurkan paper bag pada Alma. Satu tangannya masuk saku.

"Oh iya, mulai sekarang, Kakak tinggal di koridor ini, we'll be neighbour!" lanjut Afnan.

Alma bergeming. Otak cerdasnya mendadak jetlag. Pria rupawan di hadapannya memang senang membuat kejutan. Aneh-aneh. Sejak awal Alma mengenal Afnan sebagai tutor olimpiade di SMA, lelaki itu selalu membuat cerita baru di hidup Alma. Rasanya, Alma tidak pernah khatam dengan kelakuan Afnan.

"Jadi, sarapannya mau diterima nggak? Kakak pegel nih tenteng ini terus," kata Afnan menghentikan prosesi tertegun Alma.

"Tapi ... Alma udah sarapan," ujar Alma lemah. Merasa bersalah.

"Ceritanya kamu nolak? Kalau gitu, ini namanya pemborosan." Afnan menatap bawaannya itu lesu, sesekali melirik Alma mencari letak kasihan dari gadis itu.

"Eh ... sini-sini! Ikhlas nggak sih? Apa yang udah dikasih itu nggak boleh ditarik lagi! Lumayan buat makan siang!" Alma mengambil cepat paper bag itu. Gara-gara sarapan saja jadi panjang. Afnan tersenyum sampai memperlihatkan deretan giginya.

"Danke, Kak," ucap Alma seraya mengangkat bingkisannya. "Besok-besok nggak perlu kasih Alma lagi. Alma rasa, Kakak udah terlalu sering kasih sesuatu untuk Alma. Mending beli buat diri Kakak sendiri. Sayang kan uangnya?"

"Kakak lebih sayang sama kamu."

Terlampau cepat ucapan Afnan, tapi masih sanggup Alma tangkap. Lama Alma tak berucap. Dia menunduk, kikuk. Sedangkan Afnan mengedarkan pandangan, menutup mulutnya, kentara orang yang salah tingkah.

"Ng ... nggak ada urusan lagi kan, Kak? Alma ... belum Dhuha."

Afnan berdeham, mengembalikan wibawa. "Oh ... nggak ... nggak ada, kok," jawabnya masih terasa gagu.

"Kalau gitu Alma masuk dulu, makasih Kak-"

"Alma," panggil Afnan menghentikan gerakan Alma. Afnan mengepalkan tangannya. Aneh, tiba-tiba ia kelu. "Ehm ... kamar Kakak di paling ujung, kalau kamu ada apa-apa bisa ketuk. Kita tetangga."

Tidak ada respon apapun dari Alma. Suasana semakin canggung dan Afnan yang menciptakan.

"Yaudah Kakak balik dulu, jangan lupa dimakan! Schönen tag, Alma!" tutup Afnan kemudian berjalan cepat menuju kamarnya. Sepanjang jalan dia memukul bibirnya dan merutuk. Mulut gue, mulut gue! Suka nggak sinkron! Malu-maluin lo depan calon jodoh!

____________________

GIMANA PART 1 NYA GEEEESS?

Yuk tabur bintang dan komen yang rame ;)

Jangan lupa baca Quran yaa <3

With love, metanaaa

Kalam Cinta Dua SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang