9. Tamu yang Bertemu

133 28 16
                                    

Ketika yang kita pikir tak mungkin terjadi, tapi apapun yang telah terencana untuk kita, dia akan mencari jalannya sendiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ketika yang kita pikir tak mungkin terjadi, tapi apapun yang telah terencana untuk kita, dia akan mencari jalannya sendiri.

_______________

Setiap jadwal kajian di pondok milik Ustadz Bahri, tiga lelaki itu selalu menjadi pusat perhatian ibu-ibu atau remaja putri yang ikut hadir disana. Bisa dibilang, mereka adalah diva nya peserta kajian. Ibu-ibu dan remaja putri itu memang tidak terang-terangan mengatakan bahwa tiga cowok itu sangat keren. Tapi bisikan mereka dan tingkah malu-malu meow mengindikasikan asumsi dengan tepat. Apalagi Sean. Anak itu!

"Lo ngapain pake dadah-dadah ke mereka?" Dewa memukul tangan Sean, sadis.

"Mereka dadah ya gue bales lah," jawabnya santai, lalu kembali membalas senyum dan melambai membuat santri-santri putri berteriak tertahan.

Dewa mempercepat langkahnya, tidak peduli pada Sean yang tebar pesona. Dia ikut berlindung di bawah bentangan sorban Afnan yang melindungi diri dari terik.

"Geseran dikit lo, gue jadi sempit," keluh Afnan.

"Ini gue udah paling ujung, bahu gue juga masih kepanasan," ujar Dewa tak terima. Walaupun begitu dia tetap bertahan pada posisinya meskipun cukup terseok dengan langkah lebar Afnan.

"Jalan mau ke rumah Ustadz Bahri nggak ada jalan pintas lain kah? Ini terlalu panas dan rame."

"Biasanya juga lewat sini."

"Tumben banget ini orang pada bejibun?" Dewa memperhatikan sekelilingnya.

"Lagi ada acara perlombaan tahfidz se-DKI," jawab Afnan membuat Dewa mengangguk-angguk.

Sean setengah sesak mengejar Afnan dan Dewa yang ternyata sudah berjalan sangat jauh dari jangkauannya.

"Lo pada buru-buru banget mau ngapain sih?" tanyanya dengan disertai batuk-batuk.

"PANAS WOY!" ucap Afnan dan Dewa bersamaan membuat Sean mencebik.

Tinggal 10 meter lagi rumah Ustadz Bahri. Ketiganya menyeringai. Afnan melilitkan sorbannya pada lengan. Dewa menaikkan sarungnya. Sedangkan Sean memiringkan pecinya seperti tukang sate madura.

Dan, mereka berlarian seperti anak kecil berlomba cepat-cepatan.

"Yang nyampe duluan dapet sirop dari Biyaaa!"

Dasar tidak tahu umur!

~~~~~~~~~~

"Biyaaaaaa ... Om-om ganteng udah dateng nih!"

Baru saja mereka memasuki pagar rumah, masih dengan terengah-engah dan sedikit sakit pinggang. Firda, anak bungsu Ustadz Bahri sudah menodong mereka dengan banyak pertanyaan.

"Kok kalian mukanya merah?"

"Abis ketemu apa?"

"Kayak takut gitu kenapa sih Om?"

Kalam Cinta Dua SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang