ლ 20 ; Bolos

797 115 12
                                    

"Saya nggak habis pikir. Apa yang ada di otak kalian sampai harus bikin keributan seperti tadi?"

"Bukan saya yang mulai, Pak. Tapi orang itu," elak Jevon sambil melirik sinis ke arah Janu.

Janu yang tak terima disalahkan, langsung berdiri dari tempatnya. "Kenapa nyalahin gue? Gue sudi nyentuh lo aja nggak."

"Lo yang tiba-tiba nyamperin gue ya! Nggak usah playing victim!"

"Gue kan cuma ngajak ngobrol. Emangnya salah?"

"Lo pikir aja sendiri!"

"Kalian berdua bisa diem nggak?!"

Baik Jevon maupun Janu yang baru saja hendak melayangkan sumpah serapah satu sama lain, mendadak bungkam ketika cewek di tengah-tengah mereka mulai bersuara.

Pak Sucipto menggelengkan kepalanya sambil menepuk kening. "Sudah, duduk semuanya!"

Setelah keduanya duduk kembali di bangku panas, giliran Pak Sucipto yang menatap satu-satunya cewek diantara mereka dengan tatapan sulit diartikan.

"Mia, tolong kamu jawab pertanyaan saya di awal tadi. Apa yang ada di otak kamu sampai kamu melakukan hal seperti tadi?"

Mia menghela nafas, lalu mulai menjelaskan. "Maaf, Pak. Tapi tadi saya beneran refleks mukul Jevon, karena tangan dia udah siap-siap mukul Januar."

Janu disampingnya membulatkan mata. Awalnya dia sempat berpikir kalau Mia memukul Jevon karena melampiaskan amarahnya yang semalam, tapi ternyata ada alasan lain dibalik semua itu.

Mia... membelanya?

Kali ini Pak Sucipto memijat pelipisnya yang mulai pening. Masalah anak muda memang ada-ada saja, pikirnya.

Sementara itu, Jevon yang masih terlihat kesakitan karena pukulan 'refleks' Mia itu, menatap Mia dengan tatapan sendu. Bisa-bisanya Mia memukulnya hanya karena membela Janu.

Tentu saja Jevon marah dan kecewa, tapi mengingat kejadian semalam, dia merasa memang patut diberi pelajaran.

"Kamu juga, kenapa bengong waktu Mia mukul Jevon?" tanya Pak Sucipto lagi, kali ini mengarah kepada Janu.

Janu mengernyit. "Ya terus saya harus ngapain, Pak? Ikutan mukul si Jevon? Saya kan udah bilang tadi, saya nggak sudi nyentuh dia."

"Bukan begitu! Harusnya kamu pisahin mereka berdua, takutnya malah kebablasan ribut."

"Mia mah nggak gitu orangnya, Pak. Dia nggak akan nyenggol orang kalau nggak disenggol. Lagian ya, dia kan bilang refleks, ya itu berarti nggak direncanakan. Betul apa betul, Pak?"

Hilang sudah kesabaran Pak Sucipto setelah mendengar ocehan Janu barusan. "Saya nggak mau tau, besok bawa orangtua kalian ke hadapan saya. Terutama kamu, Mia."

Mia menunduk sambil memainkan kukunya. Membayangkan dia pulang ke rumah lalu menyampaikan panggilan itu kepada Papanya saja sudah membuatnya gemetar setengah mati.

Pasalnya Wisnu memang tak pernah datang ke sekolah Mia sama sekali, baik di waktu pembagian raport atau setelah Mia mendapatkan predikat juara dalam perlombaan.

Agaknya dia menyesal sudah memukul Jevon, tapi di sisi lain dia juga merasa... lega? Entahlah, yang jelas tak ada perasaan bersalah setelah dia memukul cowok yang pernah dekat dengannya itu.

Deket doang tapi nggak jadian. Chuakssss🤪  ㅡauthor

"Panggil orangtua saya aja, Pak. Mereka disini nggak bersalah, kan saya yang bikin keributan," kata Mia dengan wajah memohon. Padahal beberapa menit sebelumnya, dia masih merasa takut Papanya dipanggil pihak sekolah.

Attention ; WolfiebearTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang