BAB 10: Hari yang Dijanjikan Masihlah Jauh di Ujung Sana

295 22 1
                                    

Niatnya Rena adalah memberitahukan soal perjalanan mereka pada Pangeran. Termasuk soal kencan yang dijanjikan, Renata sangat menanti-nantikan hal tersebut. Namun, kesadaran bahwa dirinya belum berdandan membuat gadis itu segera mandi, lanjut berpakaian rapi dengan riasan sederhana menghiasi. Renata yang sudah berdandan segera menuju ke ruang makan, siap sarapan bersama yang lainnya.

"Tiba-tiba begini, apa yang sebenarnya kau pikirkan, Arthur!" Suara bentak sang ayah terdengar bergema dari balik dinding. Rena yang awalnya berlari semangat menuju ruang makan menjadi berhenti, berjalan pelan menuju sumber suara, tempat di mana semuanya tengah berkumpul.

Terdengar suara Arthur yang membalas, "Ayahanda tidak perlu tahu! Pada intinya, aku hanya ingin perjodohan ini dibatalkan. Aku tidak ingin lagi terlibat dengannya."

"Jaga bicaramu! Memangnya siapa kau sampai bisa berbuat seenaknya seperti itu? Perjodohan ini tidak akan batal. Tidak akan Ayah batalkan. Karena ini adalah kontrak penting yang telah dinanti-nanti oleh leluhur kita!"

"Siapa peduli dengan itu! Kenapa juga aku harus tunduk dengan hal yang seperti itu? Aku, aku ingin mencari jalanku sendiri. Aku sudah muak jika harus terikat seperti ini. Tinggal di akademi dan mengenyam pendidikan berat selama enam tahun, harus melakukan hal-hal berat seperti ini setelah lulus, bahkan masa depanku, kalian juga sudah menentukan semuanya! Apakah matinya aku juga telah ditentukan oleh kalian? Sejauh mana kalian ingin mengatur hidupku? Aku harap tidak pernah terlahir sebagai Pangeran, aku harap tidak pernah lahir di kelu--"

Tamparan seorang Ibu dengan tegasnya menghentikan kalimat Arthur yang kelepasan. Pipinya yang putih bersih menjadi sedikit kemerahan kala telapak seorang wanita menamparnya keras-keras. "Jaga bicaramu di hadapan kami, Arthur!" bentak sang ibu memberi peringatan, telunjuknya terangkat memberi kecaman.

"Tidak, aku sudah muak dengan semuanya. Aku akan segera pergi dari kediaman ini, mencari peruntungan untukku sendiri."

"Tunggu, Ibu belum selesai bicara!"

Laki-laki pirang itu berbalik, mengabaikan ibunya yang membentak, memunggungi kedua orang tuanya dan angkat kaki dari ruang makan. Dirinya yang melewati lorong berpapasan langsung dengan Renata yang secara tidak diketahui sudah menguping cukup banyak.

Tidak lagi terbendung, air mata sudah membasahi pelipis mata gadis itu. Arthur yang mendapati istrinya menguping terlihat sangat terkejut, sesuatu yang misterius seperti menyumbat tenggorokannya untuk bicara dan berucap. Laki-laki pirang itu akhirnya melewati Rena tanpa sepatah kata atau apa pun yang ditinggalkan. Sementara Rena sendiri merasa tak sanggup, dia hanya fokus menahan sesak dan rasa sakit di dadanya.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" batin gadis itu bertanya-tanya, tak lagi mengerti dengan situasi berat yang menimpanya. Renata yang sudah berpakaian rapi dan merias diri kemudian berdiri, kembali menuju kamar dengan niat mengurung diri. Pagi itu, tatkala Rena merasa kalau hubungannya dengan Pangeran akan semakin dekat, sesuatu yang misterius menyekat jarak di antara mereka.

______________________________________________________________________________

Renata yang gundah berbaring tak jelas di atas ranjang. Sesekali berguling dan memutar-mutar tubuhnya, tidak ada hal bermanfaat yang dilakukannya seharian ini. Sampai suatu saat, pintu megah yang membatasi kamarnya terbuka lebar.

"Nona Rena, sebentar lagi waktunya makan ma--"

"Tinggalkan aku sendiri." Tidak ada semangat atau hasrat apa pun yang terkandung dalam kalimatnya. Tidak ada perasaan khusus atas kalimatnya yang terucap mentah. Satu-satunya yang Rena coba isyaratkan lewat kalimatnya adalah rasa keputusasaan.

"Ta-tapi, jika Nona Ren--"

"APAKAH KAU TIDAK MENDENGARKU? Kubilang, tinggalkan aku sendiri! Tinggalkan aku, cukup tinggalkan aku. Cukup lakukan itu untukku."

Menundukkan kepalanya, pelayan berambut perak yang baru datang itu membungkuk sempurna kepada Rena. "Jika itu yang Nona inginkan."

Hari-hari kian berlalu, Pangeran Arthur tak kunjung kembali menuju wastu dan Renata tak kunjung keluar dari kamarnya. Sosok Lalatina yang bertanggung jawab atas Renata kerap kali mengantar makan malam serta sarapan kepada tuannya itu. Kadang-kadang ada yang dimakan, tidak sedikit juga yang diabaikan. Keadaan mengkhawatirkan di antara keduanya membuat Raja maupun Ratu tak bisa diam saja. Mereka mengutus tim pencari untuk menemukan Arthur, siap memberi hukuman kepada putra semata wayang itu.

Sementara di luar sana tengah sibuk memperbaiki keadaan, Renata tetap saja termenung dan berdiam di dalam kamar. Memikirkan soal masa depannya jika gagal melahirkan keturunan, memikirkan soal nasibnya jika gagal pada perulangan ini.

"Apakah aku melakukan kesalahan? Apakah aku memang tidak bisa mencapai masa depan yang bahagia?"

Tatkala dirinya merasa gundah dalam kesendirian, Renata merajut benang wol menjadi semacam kaus kaki atau sarung tangan. Proyek terbesarnya baru-baru ini untuk mengisi kebosanan adalah membuat syal yang prosesnya memakan waktu.

"Siapa sangka kalau aku jadi ahli melakukan hal semacam ini? Tinggal di daerah dingin itu ternyata ada manfaatnya juga buatku." Dia bergumam sendiri sementara tangannya tidak berhenti merajut syal dengan teliti.

Daerah dingin yang barusan disinggung Rena merujuk pada tempat terakhir yang didiaminya. Tempat di mana dia berakhir tewas dalam kesendirian dan kedinginan, tempat di mana dia berakhir diasingkan. Renata terpaksa mempelajari caranya merajut demi mencari kehangatan saat diasingkan. Siapa sangka, keahlian ini ternyata cukup membantu dirinya kala merasa bosan.

Mendadak, saat Rena tengah fokus dengan rajutannya sendiri, suara pintu terdengar berderit. Langkah seseorang menyusul terdengar, memasuki kamar Rena sementara gadis itu berusaha keras untuk tidak menoleh.

"Mohon maaf, Nona Renata. Saya, Aisha, ingin menyampaikan pesan dari Tuan-kyu kepada Nona."

Dia yang mengatakan itu adalah seorang gadis dengan rambut pendek berwarna cokelat. Rambutnya yang pendek sebahu mengembang lebar dengan dua telinga kucing di bagian atasnya. Seragam pelayan yang gadis itu kenakan sama persis dengan milik Lalatina. Hanya saja, jika rok seragam Lalatina cukup panjang sampai menutupi betis, maka rok seragam Aisha hanya sampai menutupi paha. Adapun sisa betis sampai kakinya ditutup kaus kaki panjang dan sepatu hitam.

"Apa yang ingin Ayah sampaikan?" tanya Rena menanggapi pesan si utusan.

"Tuan-kyu berkata kalau perjalanan Nona akan dilaksanakan tiga hari lagi. Ada atau tidak adanya Pangeran sampai hari itu tiba, perjalanan ini akan tetap dilangsungkan. Karenanya, dimohon untuk bersiap-siap."

"Yah, apa gunanya juga tetap berada di sini. Lagi pula, Pangeran sudah tidak menginginkan diriku dan akan mencari peruntungan untuk dirinya sendiri. Aku akan bersiap-siap untuk pulang," jawab Renata datar, pandangannya tidak sedikit pun beralih dari rajutan tangan.

Fokusnya Rena yang tengah merajut syal membuat perhatian Aisha menjadi tertarik. Gadis bertelinga kucing itu berkata, "Rupanya Nona sangat ahli dalam rajut-merajut. Bakat terpendam yang tidak pernah diduga oleh saya."

"Yah, ini bukan bakat yang berguna. Aku tetap saja gagal meski sudah diberi kesempatan kedua," balas Rena tak peduli atas pujian Aisha yang antusias.

"Maaf karena telah mengganggu waktu Nona. Izinkan saya pamit dari ruangan ini." Membungkuk sempurna, gadis itu kemudian berbalik dan pergi meninggalkan Rena. Ketika Rena berakhir sendirian lagi di kamarnya, gadis murung itu bergumam kecil.

"Yah, sisi baiknya, aku tidak dicap sebagai wanita yang mandul kali ini. Itu tidak memalukan jika aku akhirnya memutuskan untuk pulang. Aku juga pastinya tidak akan dibuang oleh keluargaku sendiri setelah pulang kepada mereka. Lagi pula, ini salahnya Pangeran karena telah memutuskan perjodohan. Masa depan telah berubah dan ini bukan masa depan yang buruk."

[R18] 🔞 Aku Harus Segera Melahirkan Anak Pangeran Untuk Bertahan HidupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang