"Kasih sayang yang tulus akan membuahkan hasil yang tulus juga, contohnya seperti ku?"
❝Aaron Wicaksono❞
⑅⑅⑅
"Abang kenapa sih?!"
"Lo yang kenapa, Nya?! Dikasih duit buat di tabung, buat jaga-jaga kalau nanti lo sekolah di luar negeri, malah di buat beli album-album gak guna!"
Aaron mengerutkan, ketika ia baru saja masuk lewat pintu rumah yang terbuka lebar. Suara pecahan kaca terdengar, isakan dan teriakan. Mobil Ayahnya tidak ada di halaman rumah jadi, bisa Aaron pastikan orangtuanya pergi sekarang.
"Gak usah ngehina Anya, bang, kalau Abang gak suka!" Teriak Anya, dengan tangis yang membanjiri ruangan tersebut.
Rafael, laki-laki itu tampak sangat merah, tangannya terkepal erat setelah mendengar perkataan Anya. Adiknya itu memang sangatlah manja, "Mikir anjing, otak lo di pake! Yanda sama Bunda kerja cari uang buat kita sekolah, bukan buat beli barang-barang gak guna!"
"Anya tau bang, ANYA TAU!"
"Kalau lo tau, kenapa lo ngerengek ke Aaron buat beliin lo album, HAH?! Lo gak tau, Aaron nyari uang buat beliin lo album pontang-panting, 'sat!"
Anya terus saja menangis, membuat hati Aaron hanya bisa mengatakan sabar dan sabar. Pemandangan di depannya sudah tak asing, sejak dulu Anya dan Rafael tidak pernah akur setelah kematian Ona.
"El, Nya ..." Rafael menoleh, mencari sumber suara yang memanggilnya. Napasnya terhembus begitu saja, saat Aaron berdiri tak jauh dari TKP.
"Yanda gak ngajarin lo buat kasar ke Anya, mau itu tindakan fisik atau non fisik, Rafael Wicaksono," ujar Aaron dengan nada lembut. Hanya itu yang bisa Aaron lakukan.
"Tolol!" Umpat Rafael. Aaron hanya bisa terdiam, tak bisa melawan Rafael karena anak itu tengah berada di bawah kendali emosinya.
"Minta maaf ke Anya, El," pinta Aaron pasrah. Rafael tak menggubris perkataan Aaron, memilih untuk langsung pergi meninggalkan Aaron dan Anya di dapur.
"El!"
"Bukan urusan, gue!" Napas Aaron terputus, dadanya terasa sesak ketika mendengar nada suara Rafael yang rendah sama seperti nada yang ia dengar saat Ona di makamkan.
Aaron melihat adiknya, Anya yang masih duduk di kursi. Aaron memilih untuk meletakkan jaket kulitnya di meja dan segera mengutip pecahan kaca di lantai, sembari menghela napas kasar berulang kali.
"Ck, fuck!" Umpat Aaron ketika pecahan kaca itu menggores telapak tangannya. Ia membiarkan lukanya mengering sendiri, memilih membersihkan kekacauan dan pergi lagi dari rumah sore ini.
***
"Tangan lo kenapa, Ron?" Tanya Kent yang sedari tadi melirik telapak tangan Aaron yang bewarna merah kehitaman, seperti darah yang kering.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bonaventura
Teen FictionREVISI SETELAH END !!! ⚠️Follow kalau mau baca⚠️ ⚠️Kalau udah di baca, minimal vote & komen⚠️ ⚠️Kalau ada yg plagiat, lapor segera⚠️ Penuh dengan kegilaan, kesadisan, kekerasan, yang sangat-sangat-sangat di sarankan untuk di dampingi orang tua!!! Aa...