22. Dilema

22 8 0
                                    

"Kadang, kecintaan seseorang terhadap suatu objek membuat orang itu lupa bagaimana ia memperlakukan objek tersebut layaknya objek yang di lihat orang lain."

Johnatan Makuta Adiwangsa

⑅⑅⑅

"Lo bisa gak, diem duduk gitu? Jangan kayak bocah!"

Aretha yang mendengar suara tegas itu, lantas menengok dengan wajah penasaran. Beberapa anak OSIS berlalu lalang menyiapkan segala keperluan dan menjaga jalannya acara pensi hari ini. Matanya tertuju pada sepasang anak muda yang duduk di dekat pohon besar tak jauh dari tempatnya berdiri.

Belum sempat kaki Aretha berpindah, wajahnya reflek menoleh kala merasa sentuhan hangat di pergelangan tangannya. Ternyata, Kent menahannya.

Dengan tatapan yang tak bisa di artikan, Kent membuka mulutnya, "Kayaknya, lo gak harus berdiri di sini. Biarin aja Theo sama Chelsy cek-cok," ujarnya.

Mendengar hal tersebut, membuat Aretha mengerjap. Dia membiarkan tangannya di tarik pelan, tiba-tiba saja saat dia berdiri di depan pintu OSIS, Kent memeluknya begitu erat. Rasanya seperti tulangnya akan remuk. Keanehan Kent membuat kening Aretha berdenyut.

"Lo kenapa sih?" Tanya Aretha yang sembari mencoba melepas pelukan erat Kent, mencoba bernapas. Berbagai pertanyaan muncul di kepalanya, namun gerakan memberontaknya selesai kala matanya menemukan tubuh laki-laki yang berdiri tak jauh dari tubuh Kent.

"Maafin gue ya? Biar sebentar aja kaya gini, sampai dia pergi."

Aretha makin dibuatnya penasaran, perlahan dia mengalihkan tatapannya dengan tangan yang bergerak mengusap punggung Kent. Walau Aretha menganggap Kent sebagai saudara, tapi perasaannya campur aduk kala laki-laki ini memeluknya begitu saja.

***

"Gue gak mau lo sakit hati, Tha. Gue tau kok, kedekatan lo sama Aaron kayak gimana. Anggap pelukan gue tadi itu, rasa kangen gue sama Mommy gue," ujar Kent dengan kepala menunduk melihat ayunan kakinya. Setelah kejadian berpelukan tadi, Kent mengajak Aretha untuk istirahat karena sedari tadi Kent melihat Aretha sibuk di belakang panggung.

Aretha hanya mengangguk, melihat penampilan dari adik-adik kelasnya dan kakak kelasnya. Beberapa menampilkan tari-tarian, gamelan, dan acara puncaknya yaitu wayang kulit nanti malam. "Gue gak sama seperti cewek di luar sana, Kent. Kalau pun gue sakit hati, gue gak sampai mogok makan atau bahkan bertapa di kamar," jawab Aretha dengan ringannya.

"Tumben berdua aja, Zack mana?" Aretha dan Kent sontak menoleh hampir bersamaan, melihat di belakang tubuh mereka berdiri laki-laki dengan tubuh kekar. "Zack tadi di geret adek kelas, mabar di ruang komputer," ucap Kent.

Bibir laki-laki dengan nama Johnatan Makuta A yang tertempel di seragam bagian kiri itu membulat, membentuk huruf o sembari menyodorkan dua kaleng minuman ke arah Aretha dan Kent. "Tadi lo di cariin Theo, Tha."

Aretha hanya berdeham singkat, kini dia di apit oleh dua laki-laki yang ber-notebene musuh bebuyutan di lapangan basket. Ya, kelas A dan kelas C tidak pernah akur dalam hal basket dan kepintaran. "Harus banget gue duduk di tengah?" Gumam Aretha hampir tak bersuara, membuat John dan Kent menoleh bersamaan menatap Aretha.

***

"Loh, lo? Gue kira Aretha yang di sini," ujar Theo dengan wajah sedikit terkejut, melihat laki-laki dengan tatapan kosong duduk di kursi kantin seorang diri. Di matanya, laki-laki itu adalah sosok yang ia kagumi dan juga ia benci karena caranya yang terbilang bodoh.

BonaventuraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang