Tiga

10.9K 528 17
                                    

TIGA : MEMULAI LEMBARAN BARU

AGAM benar-benar ayah dan mantan suami baik pikir Anjali. Sebenarnya dia tidak minta banyak untuk harta gono-gini. Namun, Agam memberikan rumah yang ditinggali kepada Anjali dengan alasan Anya, putri mereka.

Gadis kecil itu belum tau keadaan, dia pikir kepergiaan papanya hanya untuk sementara. Sehingga dia lebih memilih bersama Anjali sambil menunggu kepulangan papanya.

Mungkin itulah sebabnya Agam mengatasnamakan rumah ini dengan nama mantan istrinya, Anjali.

Anjali dan Anya menatap kepergian Agam dengan tatapan berbeda. Anjali dengan senyum miris sementara Anya tersenyum lebar sembari melambaikan tangannya.

"Papaaa, cepat kembali ya!"

Dengan polosnya bibir mungil itu meminta Agam untuk kembali. Anya hanya mampu mengeratkan pelukan pada putrinya, karena tidak punya rangkaian kalimat untuk dijelaskan ke Anya.

Agam membalas lambaian Anya sebelum benar-benar masuk ke dalam mobil.

Anjali mengajak Anya masuk begitu mobil yang dikendarai Agam menghilang. Anak itu hanya mengangguk patuh.

Oleh karena itu Anjali harus mencari pekerjaan untuk menyambung hidup mereka. Walaupun Agam berjanji akan menafkahi Anya setiap bulannya, tetapi Anjali tidak bisa terus mengandalkan Agam. Apalagi pria itu sudah menjadi mantan suami.

Anjali gencar mencari lowongan kerja di media sosial. Puluhan email sudah dia kirim. Tidak sedikit juga dia mengirim lamaran lewat pos, namun sudah sebulan menunggu tidak ada panggilan dari salah satu perusahaan yang dia lamar. Tabungan Anjali memang cukup untuk bekal mereka sampai dua bulan ke depan.

Apalagi tagihan sekolah Anya yang besar mengharuskan Anjali memindahkan Anya ke sekolah yang lebih murah. Anya sempat khawatir memikirkan Anya harus beradaptasi dengan lingkungan dan sekolah baru.

Namun melihat interaksi Anya dengan teman barunya membuat Anjali sedikit lega. Setelah menitipkan Anya kepada guru, Anjali berpamitan dan berjanji akan menjemput Anya kembali.

"Anya, baik-baik di sini ya. Belajar yang rajin, oke?"

Anjali tersenyum lembut sementara tangannya mengusap pucuk kepala putrinya.

"Siap, Ma!"

Anjali pikir, dia harus mencoba mencari lowongan kerja secara offline, mendatangi setiap perusahaan ataupun toko tidak akan menjadi masalah. Anjali harus lebih keras lagi.

"Huhh,"

Cuaca hari ini benar-benar terik, Anjali melangkahkan kakinya ke arah warung di pinggir jalan untuk membeli air minum.

"Mbak, lagi nyari lowongan kerja ya?"

Anjali tersenyum menanggapi pertanyaan dari ibu penjaga warung tersebut. Tidak heran ibu penjaga warung tahu, dilihat dari pakaian formal yang dikenakan Anjali dan amplop coklat yang di pegang nya.

"Nyari kerja jaman sekarang memang sulit mbak, harus ada uang dulu baru bisa dapet kerjaan,"

Bukannya tidak sopan, namun kerongkongan Anjali sudah sangat kering. Sembari mendengarkan celoteh si ibu Anjali menandaskan air botolnya. Tidak peduli kalau dirinya di cap tidak sopan atau apapun itu.

"Iya, Bu, saya lagi nyari pekerjaan tapi belum dapet juga." Anjali menimpali.

"Semangat ya mbak semoga rezekinya di mudahkan." Ibu penjaga warung tersenyum.

 "Oh kebetulan mbak, saya punya kenalan calo perusahaan AX Group biar mbak bisa masuk ke sana. Barangkali mbak minat, saya juga punya kontaknya."

Anjali mengernyit, nampak sedang berpikir. Walaupun tidak pernah menginjakkan di perusahaan Agam, namun Anjali tahu betul, kalau AX Group adalah perusahaan yang dipimpin oleh Agam. Tidak terpikirkan oleh Anjali bekerja di sana. Tidak sama sekali.

"Terimakasih bu tawarannya, sekarang saya mau nyari dulu aja tanpa calo."

Anjali menggelengkan kepala sembari tersenyum miris, jaman sekarang nyari duit kok harus ada duit dulu. Daripada buat bayar calo mending buat kebutuhan Anya. Apalagi hal itu termasuk penyogokan, sebisa mungkin Anjali akan menghindari sogok-menyogok.

Karena Anjali yakin rezeki tidak akan kemana.

Setelah menjemput Anya dari sekolah barunya. Anjali dikejutkan dengan kehadiran orang asing di rumahnya. Berpakaian formal khas pekerja kantoran.

"Maaf, sedang mencari siapa ya?"

Orang asing itu menoleh dan tersenyum begitu Anjali menyapanya.

"Dengan Ibu Anjali?"

Anjali mengangguk, "Iya, dengan saya sendiri."

Orang asing itu tersenyum, "Perkanalkan Bu saya Ben. Begini Bu ada tawaran menjadi sekretaris di perusahaan kami dan ini berkas yang harus ditandatangani jika ibu berkenan menjadi bagian dari perusahaan kami."

Anjali menatap pria yang bernama Pak Ben itu. Heran, kenapa ada perusahaan yang mau repot mendatangi langsung calon pekerja. Dengan ragu Anjali menerima berkas dari tangan Pak Ben.

"Mama, Anya duluan masuk ke dalam lumah, boleh?"

Anjali menatap putrinya, hampir lupa kalau Anya masih berada di sampingnya. Lupa juga dirinya tidak mempersilahkan Pak Ben masuk. Benar-benar tidak sopan.

"Boleh kok sayang,"

Sepeninggal Anya, Anjali kembali menatap Pak Ben, "Aduh maaf Pak saya benar-benar tidak sopan membiarkan tamu berdiri di halaman. Mari masuk dulu pak,"

Pak Ben hanya tersenyum kecil dan mengikuti langkah tergesa Anjali dari belakang.

Tulisan AX Group tercetak tebal di halaman pertama. Anjali sempat tersentak kaget, namun seperkian detik dia kembali menetralkan raut wajahnya.

Dengan tegas Anjali kembali menyerahkan berkas itu kepada Pak Ben, "Terimakasih atas tawarannya pak. Namun untuk sekarang saya rasa tidak membutuhkan pekerjaan tersebut."

"Ibu tidak perlu membuat keputusan secepat ini. Ada baiknya kalau dipikirkan ulang, Bu. Selebihnya ibu bisa menghubungi nomor yang tertera di sana kalau sudah membuat keputusan. Sekarang saya permisi."

Sudah dipastikan kalau ini rencana Agam. Mungkin Agam tau kalau dirinya tengah mencari pekerjaan. Tapi ada satu hal yang tidak dipahami Anjali, darimana Agam bisa tau?

Anjali melemparkan pandangannya ke arah map berisi berkas-berkas. Anjali seharusnya tidak berpikiran lebih. Dirinya dan Agam sudah benar-benar berakhir. Mungkin Agam membantunya karena Anya. Tidak mungkin juga karenanya, Anjali harus buang pikiran yang akan meruntuhkannya nanti. Terlepas apapun alasan Agam, Anjali mengapresiasi kebaikan pria itu.

"Ma, ini ada amplop dari ibu guru," tiba-tiba Anya datang sembari menyodorkan amplop putih ke Anjali.

Anjali tersenyum dan membuka amplop itu. Senyum Anjali perlahan meredup, ternyata dugaannya keliru. Mau di sekolah negeripun bayaran sekolah Anya tetap mahal.

Besok lusa Anjali harus menyiapkan uang 2 juta. Anjali memang belum melunaskan uang pangkal sekolah Anya. Dan ternyata tagihan dari sekolah diluar dugaannya, besok lusa harus sudah lunas.

Anjali terlihat memijat pelipisnya. Pemasukkan belum ada namun pengeluaran tetap berjalan setiap waktunya. 

"Mama, oke?" Anya mengusap lengan Anjali. Perlahan dia naik ke atas sofa duduk di samping Anjali.

"Ma, maaf kalau Anya bikin susah. Kalau begitu, gak papa kok kalau Anya berhenti aja. Gak usah sekolah."

Anjali meraih kedua tangan putrinya. Menatap lembut muka sendu gadis kecil tersebut. 

"Anya dengerin Mama. Kamu anak mama dan mama orang tua kamu. Kamu gak perlu mikirin biaya ataupun semacamnya. Itu tanggung jawab mama sebagai orang tua." 

Anya anak baik tidak seharusnya dia memikirkan yang tidak harus dia pikirkan. Anak seusia Anya harusnya bermain dan menikmati masa kecil. 

"Yang harus Anya lakukan adalah belajar dengan giat dan bermain. Oke?"

Dirinya harus mengesampingkan ego kali ini. Tidak ada cara lain selain menandatangani berkas yang di maksud Pak Ben. Bagaimanapun Anjali tidak ingin kalau Anya putus sekolah.

Mengenang RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang