TIGAPULUH DUA : HARAPAN AGAM
***
"Reksa ... apa yang kamu lalukan?"
Genangan darah yang semakin meluas tidak mampu menggerakkan kaki Anjali untuk mendekat dan menutup sumber darah tersebut. Kedua kaki perempuan itu seolah dilem rapat dengan lantai. Seharusnya Anjali segera bergerak sebelum tubuh Agam mati karena kekeringan.
Entah karena pengaruh alkohol atau memang Reksa sudah tidak waras. Pria itu malah tertawa terbahak lalu lesehan di lantai. Matanya menatap Anjali, "Aku gak berniat membunuhnya aku tidak sengaja."
Anjali menggelengkan kepalanya. Kalau dia tidak bergerak Agam sungguhan akan meninggal. Sekarang Reksa sudah tidak bisa diandalkan.
Anjali mengumpulkan keberaniannya dan mengenyahkan semua pikiran buruk. Perlahan kakinya bergerak sedikit demi sedikit ke arah tubuh Agam yang sudah tidak sadarkan diri.
"Bang Agam..."
Anjali berhasil duduk di depan wajah Agam. Tangannya bergetar hebat mengangkat kepala Agam ke pangkuannya. Ketakutan Anjali memuncak ketika darah mengucur semakin deras dari belakang kepala Agam. Anjali memejamkan matanya mencoba meredam semua trauma dan ketakutannya. Dia harus menyelamatkan Agam.
Walaupun kesusahan Anjali mencoba melepas blazernya sebelum diikatkan melingkar di kepala Agam.
***
Masih dengan badan bergetar Anjali duduk di atas kursi panjang. Matanya menatap kosong lantai rumah sakit yang saat itu terlihat begitu jernih dan mengkilap sampai pantulan Anjali terlihat dari sana.
Kedua tangannya yang penuh darah Anjali biarkan begitu saja. Entah apa yang ada di pikiran perempuan itu. Namun, pandangan matanya tetap kosong sampai seseorang memeluknya hangat. Anjali terhenyak, matanya menangkap sosok perempuan paruh baya yang saat ini merengkuhnya.
"Anjali, terimakasih sudah menyelamatkan Agam,"
Perempuan itu mamanya Agam.
"Kamu tidak papa kan?"
Gelengan lemah yang mampu Anjali berikan. Bibirnya terlalu keluh walau untuk mengeluarkan satu kata.
"Muka kamu pucat sekali. Mau mama belikan makanan ya?" Mama Agam mengusap mantan menantunya dengan lembut. Sifat keibuannya begitu Anjali rindukan. Mama Agam memang baik mungkin itulah alasan dia bertahan selama 3 tahun. Setidaknya Anjali bisa merasakan disayang dan diperhatikan oleh sosok ibu.
"Ayo, mama bantukan kamu bersih-bersih dulu. Baru setelah itu makan, ya."
Mama Agam menuntun Anjali ke toilet rumah sakit. Anjali hanya ikut saja. Dengan telaten mama Agam membersihkan darah yang telah mengering di lengan Anjali. Sementara pandangan Anjali lurus ke kaca panjang di depannya.
"Terimakasih kamu sudah melawan trauma kamu untuk menyelamatkan putra mama. Walaupun Agam sudah menyakiti kamu tapi kamu masih peduli sama dia. Mama harap kalian bisa bersama kembali, Nak,"
Peduli ya?
Anjali tersenyum kecil mendengarnya.
"Anjali," panggil mama mertuanya. Anjali menoleh.
"Iya, ma?"
"Apa kamu tidak ada rencana untuk kembali pada Agam? Mama sangat menginginkan kalian kembali bersama," tatapan yang sama dengan 3 tahun lalu. Tatapan memohon yang mampu Anjali luluh karenanya. Namun, kali ini Anjali tetap akan pada pendiriannya. Dia tidak akan mengubah keputusannya.
"Maaf, Ma." Anjali menatap berani pada mama mertuanya namun masih terkesan sopan. Anjali sangat menghormati mama Agam. Bagaimana pun Mama Agam sangat baik padanya. Memperlakukan dirinya seperti anaknya sendiri. Perempuan itu tidak seperti kebanyakan mertua yang selalu membela anaknya. Tidak jarang mama Agam membelanya ketimbang Agam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengenang Rasa
Romance"Kamu tau Ryanti kan?" Tidak bisa dipungkiri, mendengar nama itu lagi setelah 3 tahun menikah membuat tubuh perempuan yang tengah menata piring di meja makan sempat terhenti. Ryanti. Perempuan pemilik hati suaminya sejak dulu dan mungkin sampai seka...