Sembilanbelas

4.7K 202 11
                                    

SEMBILANBELAS : DONOR

Happy reading!

***

Sesampainya di rumah sakit, Anjali digiring Agam menuju ruangan Anya. Perempuan itu linglung. Bahkan beberapa kali dia hilang keseimbangan ketika berjalan untung saja Agam sigap menahan tubuh mantan istrinya.

Tidak berselang lama dokter keluar dari ruangan Anya. Sesuai dugaan, dokter bilang Anya kehilangan banyak darah, gadis kecil itu butuh 3 kantong darah sementara stok di rumah sakit hanya tersisa 2 kantong. Hal itu membuat Anjali bergerak cepat untuk mendonorkan darahnya. Namun, sayangnya ketika diperiksa golongan darahnya tidak cocok.

Dengan yakin, Anjali menatap Agam. Besar harapannya golongan darah lelaki di depannya cocok dengan Anya. Walaupun kecil kemungkinan sama.

Agam menggeleng dengan sorot kecewa dan sedih, "Maaf, golongan darahku B."

Tangis Anjali pecah begitu keras. Sebagai orang tua dia sungguh tidak ada guna untuk anaknya. Bahkan di saat anaknya kritis, dirinya hanya bisa menangis tanpa berbuat apa-apa.

"Anjali, tenangkan diri kamu. Saya akan menemukan pendonor untuk Anya, secepatnya," ujar Agam meyakinkan.

"Kamu lupa ... kalau Anya buka anak kandung kita?" Sambung Agam lagi. "Jadi wajar saja diantara kita tidak ada yang cocok dengan golongan darah Anya."

Anjali menggeleng tidak setuju. "Jangan sebut itu lagi! Anya sudah menjadi anak kandungku sejak aku rawat dia dari bayi."

"Aku sangat menyayanginya tapi aku sebagai orang tua sungguh gak berguna." Anjali menutupi wajahnya dengan kedua tangan.

Agam menatap Anjali. Dengan gerakan pelan tangan Agam bergerak mengusap punggung Anjali yang tengah bergetar hebat.

Teringat 3 tahun lalu. Tepatnya satu bulan setelah menikah, ibu Agam mengajak mereka berkunjung ke panti asuhan yang dikelola oleh keluarga Agam. Hal tersebut kerap dilakukan rutin setiap sebulan sekali.

Ibu Agam mengajak anak dan menantunya ke sana tidak tanpa alasan. Ternyata dia menginginkan Agam untuk mengadopsi anak. Karena dia pikir pernikahan Agam dan Anjali berlandaskan keterpaksaan dan tanpa cinta. Ibu Agam harap dengan kehadiran bayi kecil di antara mereka dapat memperdekat hubungan mereka. Saling bahu membahu dan bekerja sama merawat dan membesarkan seorang anak terdengar bisa digunakan sebagai alternatif.

"Biar saya yang menjadi pendonor untuk Anya,"

Keduanya mendongak, melihat Reksa tersenyum ke arah mereka. Laki-laki itu memandang Agam dan Anjali bergantian. Agam yang tengah menelfon rekan kerjanya segera di matikan. Awalnya Agam kecewa begitu tahu tidak seorangpun bergolongan darah sama dengan Anya. Namun sekarang Agam bisa bernapas lega begitu kedatangan Reksa untuk membantu putrinya.

"Golongan darah saya sama dengan Anya." Lanjut Reksa.

"Alhamdulillah," ujar Anjali penuh harap, sekarang perempuan itu mampu bernapas lega. Baik Anjali dan Agam menatap Reksa dengan penuh terimakasih.

"Terimakasih banyak Reksa." Anjali bangkit mendekati laki-laki itu.

"Tolong Anya dia lagi butuh bantuan kamu sekarang, Sa." Anjali bersimpuh. Dia tidak bisa menahan rasa haru dan bahagia. Ada secerah harapan Anya sembuh dan sehat kembali. "Untung saja ada kamu, saya selaku orang tua Anya tidak bisa diandalkan."

Reksa jongkok membantu Anjali berdiri.
"Sekarang kamu berhenti menangis dan menyalahkan diri kamu, Jali. Anya akan baik-baik saja dia akan sembuh." Reksa berkata yakin. Lalu menuntun Anjali untuk kembali duduk di kursi yang sempat dia duduki.

"Terimakasih. Nanti saya akan transferkan uang sebanyak yang kamu mau," ujaran Agam membuat pandangan Reksa tertuju padanya. Lelaki itu menyunggingkan senyum tipis.

"Terimakasih tawarannya. Namun anda tidak perlu berlebihan Pak. Saya ikhlas membantu putri anda. Sepertinya saya sedang tidak butuh uang sekarang. Saya hanya butuh Anjali." Reksa tertawa kecil di tengah bisikannya pada Agam. Matanya melirik Anjali yang tengah berjalan menjauh. Tadi dia sempat berpamitan ke kamar mandi.

"Anda lupa kalau saya pemilik Alathas Group?" ingat Reksa.

Mata Agam menyipit mendengar kesombongan lelaki di depannya. Giginya bergemelatuk sebelum membalas ucapan Reksa.

"Jadi kamu membantu Anya hanya untuk mendapat simpati Anjali, begitu?"

Reksa menggeleng dengan kening berkerut, "Tidak hanya itu. Saya juga menyayangi Anya sebagai anak saya sendiri."

Tcih!

"Kamu sama saja liciknya seperti kakak kamu, Ryanti!" kata Agam emosi.

"Anda tidak bisa mengatai perempuan yang pernah anda cintai, Pak!" protes Reksa tidak setuju.

"Berhenti banyak bicara dan cepat lakukan pendonoran darahnya!" Secara tidak langsung Agam mengusir Reksa dari hadapannya. Mendengar ocehan pria itu bisa mengundang amarahnya.

"Baik-baik, saya pergi sekarang."

Agam menaruh curiga terhadap Reksa. Perilaku lelaki itu cukup meresahkan apalagi mencoba merebut Anjali darinya. Mungkin saja insiden Anya saat ini ada hubungan dengannya.

Dari kejauhan Anjali kembali dengan beberapa kantong keresek di tangannya. Perempuan itu terlihat lebih baik dari semula. Air matanya sudah tidak bercucuran seperti tadi tertinggal matanya saja yang sembab. Dan hidung kecilnya memerah akibat banyak menangis.

"Tadi saya sempat ke kantin dulu. Saya tau bapak belum makan apa-apa?"

Anjali mengulurkan satu keresek kecil pada Agam.

"Terimakasih," sahut Agam. Ada beberapa bungkus roti berbeda rasa dan sebotol air mineral dari sana. Agam mengambil roti selai vanila dan mulai melahapnya.

"Reksa sedang mendonorkan darahnya." Agam membuka suara.

"Tahu," sahut Anjali singkat.

"Anjali," panggil Agam membuat perempuan itu bergumam.

"Anjali,"

Anjali menghembuskan napas pelan dan menoleh pada Agam, "Iya, kenapa?"

"Tolong jauhi Reksa. Sepertinya dia bukan lelaki baik-baik."

Anjali berhenti mengunyah, lalu tersenyum sinis.

"Sepertinya saya juga harus menjauhi anda karena saya pikir anda juga bukan lelaki baik-baik."

"Anja--"

"Kenapa?" sahut Anjali cepat.

"Tolong dengarkan saya kali ini,"

"Kenapa saya harus menjauhi orang yang sudah menolong nyawa putri saya?"

Agam tersentak perkataan Anjali seolah menganggap dirinya tidak berguna dan bukan orang tua baik.

"Anjali kamu tau kita tidak punya pertalian darah dengan Anya. Bagaimanapun dia anak angkat--"

"Jangan sebut itu lagi! Anya putri kandung saya!" seru Anjali dingin. Matanya enggan menatap Agam.

"Dengarkan saya dulu. Jdi wajar saja kalau saya ataupun kamu tidak bisa banyak membantu kalau Anya butuh darah. Saya hanya mampu mendukungnya dengan cara lain. Perkataan kamu seolah saya tidak berguna untuk Anya." Agam menarik napasnya. Anjali begitu keras kepala dan sulit diberi penjelasan.

Baik Agam dan Anjali mengunci mulutnya masing-masing. Keduanya sibuk dengan pikiran yang bergerombol di kepalanya. Seharusnya di saat seperti ini tidak sepatutnya saling menyalahkan.

"Maaf," pinta Anjali lirih. Dia juga tersadar di saat genting seperti ini dirinya juga tidak mampu menolong Anya. Anjali egois. Seberapa keras pun dia bilang Anya anak kandungnya, dunia medis tidak akan bisa dibodohi kalau Anjali dan Agam bukan lah orang tua biologis untuk Anya.

"Iya, maafkan saya juga sempat berteriak kepada kamu,"

***

Terimakasih yang masih ngikutin MR sampe sini❤️ kalian hebatt👍

Menurut kalian kalau MR ganti judul gimana nih? Vote yaa

°Tim MR

°Tim Ganti Judul

°Terserah Author

Terimakasih! See ya in the next chap,

Mengenang RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang