Enam

9.4K 423 5
                                    

ENAM : SEBUAH KECELAKAAN

Saat itu pukul 09.00 malam kala Anjali tiba di rumah. Dan setiap dia pulang, biasanya Anya sudah tertidur pulas. Dirinya hanya bisa mengecek ke dalam kamar Anya untuk memastikan keadaan putrinya.

Akhir-akhir ini dirinya kerap kerja lembur. Anjali takut kalau Anya akan merasa kesepian dan merasa terbuang. Namun tidak ada pilihan lain untuk Anjali. Dia harus tetap bekerja untuk menunjang hidup. Hal itulah yang membuat Anjali mempekerjakan Irma untuk mengasuh Anya di saat dirinya pergi bekerja. Setidaknya ada yang menjemput Anya saat pulang serta menjaganya selama dirinya sedang bekerja.

Namun kali ini berbeda, begitu dia membuka pintu kamar Anya dikejutkan dengan kehadiran sosok pria yang tertidur di samping Anya. Jantung Anjali berdetak begitu cepat, pikiran buruk sudah berseliweran memenuhi isi kepalanya. Kemungkinan terburuk adalah pria itu pembunuh berantai yang menargetkan keluarga kecilnya.

Dengan berhati-hati Anjali menghampiri ranjang yang ditempati kedua orang tersebut.

Brak!

Buk!

Anjali memukul pria itu dengan brutal. Dipikirannya dia harus menghabisi penjahat itu. Tidak memperdulikan ringisan  dari pria itu, Anjali meraih vas bunga sebelum dilayangkan ke kepala pria yang dikiranya penjahat itu.

Prang!

Bunyi pecahan kaca memenuhi ruangan tersebut. Bunyinya yang nyaring mampu membangunkan Anya yang tengah tertidur pulas.

"Mama kenapa mukulin papa huwaaa,"

Deg.

Kini pandangan Anjali tertuju pada Anya yang baru saja terbangun karena ulahnya. Syukurlah putrinya masih bernyawa.

Setidaknya dia dapat bernapas lega.

"Kening papa berdarah!" Jeritan Anya mampu mengalihkan pikiran Anjali. Matanya menatap punggung pria yang sempat dia pukuli. Perlahan punggung itu bergerak berbalik, saat itu juga Anjali tersadar bahwa yang dia kira penjahat adalah Agam.

"Pak Agam," ringis Anjali terlihat takut akan kemarahan bos sekaligus mantan suaminya itu.

Agam meringis sembari mengurut keningnya.

Perlahan matanya bergerak ke arah Anjali.

"Apa yang kamu lakukan?"

"Maaf, aku benar-benar tidak sengaja. Aku kira kamu penjahat."

"Lain kali jangan gegabah," kata Agam pelan namun penuh tekanan. Tidak ada aura marah dari mukanya. Hal itu membuat Anjali sedikit lega.

"Lagipula saya sudah menjamin rumah ini aman tidak akan ada penjahat yang berani masuk."

"Sekali lagi maaf,"

"Yasudah saya mau pulang." Tidak memperdulikan darah yang menetes di keningnya, Agam beranjak dari ranjang. Sebelumnya dia sempat mengecup pucuk kepala Anya, "Papa pulang ya, sayang."

"Pulang? Ini kan rumah papa juga." Anya menatap Agam dan Anjali bergantian. "Terus kening papa berdarah harus segera diobatin nanti infeksi. Mama tolong obatin luka papa oke? Kan itu ulah mama juga. Sementara Anya mau lanjut bobo."

Mulai lagi.

Anya menarik selimutnya sampai menutupi dada. Kemudian menyabet boneka tedy bear  dengan kakinya. Gadis kecil itu menatap kedua orangtuanya heran.

"Mama, papa ngapain liatin Anya kaya gitu. Ada yang salah?"

Kompak keduanya menggeleng.

"Yaudah, mama mau kapan obatin luka papa? Ini udah malem loh."

Anya mengibaskan tangannya membuat Anjali mendengus.

"Mama sama papa besok harus kerja. Jangan malem-malem tidurnya."

Pesan terakhir Anya sebelum anak itu benar-benar terlelap.

Seharusnya Agam tidak ketiduran. Niatnya dia akan pulang sebelum Anjali kembali. Namun dirinya terlalu menikmati kebersamaan dengan Anya sampai melupakan waktu.

Agam pikir Anya cerdas untuk seukuran anak tiga tahun. Perasaannya Anya sengaja menahan dirinya untuk tidak pergi. Ada saja alasan anak itu agar membuatnya tinggal. Anya juga meminta dirinya cosplay kuda-kudaan,  memasak makan malam untuk mereka berdua. Dan bermain di taman dekat komplek rumah.

"Maaf Pak kalo ini sedikit perih."

Agam hanya berdehem singkat. Dia memposisikan duduknya agar memudahkan Anjali membersihkan lukanya.

Napas Agam tertahan begitu wajah Anjali tepat di depan matanya. Tatapannya terlihat serius dengan dahi yang membentuk lipatan-lipatan kecil. Agam baru menyadari kalau Anjali manis.

Mata Agam turun ke hidung kecil Anjali. Khas orang asia. Terlihat pas dengan bentuk muka oval nya. Tanpa sadar Agam melirik bibir tipis Anjali. Bibir polosan tanpa balutan lip cream ataupun sejenisnya, namun Anjali punya warna bibir merah muda. Agam bodoh karena baru menyadari bahwa bibir Anjali kissable.

Agam menggeleng kan kepalanya begitu pikiran mesum memenuhi isi kepalanya.

Sejenak Anjali mengernyit heran, "Kenapa, Pak?"

"Sudah biar saya saja." Agam mengambil alih kain kasa dari tangan Anjali.

Sebelum hal gila terjadi, Agam sedikit menjaga jarak dengan mantan istrinya itu. Hal itu membuat Anjali keheranan.

"Ada yang salah?"

"Tidak ada."

Anjali diam sembari memperhatikan Agam. Sesekali dia membantu pria itu seperti saat hendak menempelkan plester biar tepat menutup lukanya.

"Jali besok akan ada meeting di luar kota. Tolong temani saya, mungkin butuh 2 sampe 3 hari. Kalau perlu bawa Anya juga tidak papa."

"Iya, tapi kalau bawa Anya apa itu tidak berlebihan?" Anjali pikir mereka seakan liburan keluarga saja. Tidak enak juga urusan kantor harus melibatkan kehidupan pribadi. Terlebih Anjali karyawan baru di sana, bagaimana pandangan karyawan lain terhadapnya nanti.

Dirinya harus bersikap profesional. Walaupun sedikit berat meninggalkan Anya tapi kan ada Irma yang akan menjaganya.

"Saya rasa tidak perlu membawa Anya, Pak. Lagipula Anya sudah ada yang menjaganya di sini."

"Tidak papa. Kasian kalau anak kita ditinggal sendiri."

Anjali menaikkan alisnya, 'anak kita?'

Agam berdehem canggung, "Maksud saya Anya," ralat Agam.

Anjali tersenyum kecil. Mungkin baru ini mereka bisa berbicara berdua. Sebagai atasan dan bawahan.

"Yasudah saya pamit pulang."

Tanpa menunggu respon dari Anjali, Agam ngacir ke arah pintu utama. Baiklah, tidak ada yang salah dengan perkataannya bukan. Memang Anya anak dirinya dan Anjali. Jadi Agam tidak usah malu untuk mengatakan 'anak kita'.

Salahnya adalah status mereka, Agam sudah bercerai dengan Anjali sehingga kedengarannya sedikit aneh.

Di tengah perjalanan, handphone Agam berbunyi ada panggilan masuk.

"Ada apa, Ryanti?"

"Aku cuman kangen, Gam," jawab Ryanti di sebrang telefon. "Gimana kalau besok kita liburan ke Bali? Di sana band kesukaan kita akan manggung."

Agam menghembuskan napas pelan. Mendengar suara Ryanti penuh semangat membuat dia tidak tega menolak ajakan perempuan itu.

"Maaf, tapi besok aku akan ke luar kota untuk urusan kantor."

Hening sejenak sebelum terdengar desahan pasrah, "Yah, sayang banget. Yasudah apa boleh buat."

"Next time gimana?" Tawar Agam mencoba menghibur Ryanti.

"Ah beneran?"

Agam tersenyum begitu mendengar suara Ryanti kembali riang. "Beneran dong sayang."

Sebenarnya bisa saja Agam sekalian mengajak Ryanti kalau tidak bersama Anjali dan Anya. Namun mana mungkin dia lakukan sementara tahu bahwa Ryanti tidak suka kalau dia masih berhubungan dekat dengan mantan istrinya. Terlebih Ryanti belum tau kalau Anjali lah mantan istrinya.

Mengenang RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang