Intact

347 43 2
                                    

Senja ini, Niklas sudah menghilang. Seperti pacar-pacarnya sebelumnya, tidak pernah ada yang pernah mencicipi malam bersamanya. Bukan hal baru selama hampir satu minggu belakangan, tetapi rasa kosong yang aneh selalu meraja di dada. Skyla tidak tahu asalnya perasaan hampa yang muncul tiba-tiba, padahal dirinya hanya berkencan beberapa jam saja.

Namun, seiring kehampaan yang muncul beberapa hal melekat di lapisan ingatannya seolah-olah pemuda-pemuda itu menanamkan suatu sihir di dalam kepalanya. Skyla mendesah pelan lalu menatap gedung yang tinggi menjulang di hadapannya. Gedung yang dihindarinya selama beberapa waktu belakangan karena banyak orang menuding dan menyalahkannya, padahal dirinya tidak sepenuhnya bersalah.

Ingatannya melayang kembali pada Nathan yang menganggunya siang tadi. Niklas memang ada di sana untuk membelanya. Begitupun kejadian kemarin malam saat Marlene merusak botol-botol ramuan miliknya, Canis juga ada di sana untuk menghiburnya. Kali ini dia sendirian dan rasanya dia memang harus menghadapi semua ini. Dia tidak bisa selamanya menghindar karena semua orang akan menindasnya kalau dia terus melakukan itu.

Ya, dia tahu kalau dirinya pengecut dan penakut. Namun, Skyla sendiri tidak tahu apakah dirinya sepenakut yang dia pikirkan. Dia pernah hampir mati karena terjun dari jembatan. Seharusnya dia lebih berani dibanding banyak orang karena dia sudah berani menghadapi kematian. Dia bisa memeluk malaikat maut tanpa ragu meski banyak orang yang menghindarinya. Namun, kalau dia saja berani menghadapi malaikat maut, kenapa dia tidak berani untuk hidup? Bagian ini, Skyla belum tahu jawabannya.

Jantung Skyla berdegup kencang saat dia memasuki lobi rumah sakit dan menanyakan ruagan Ines dirawat pada petugas yang berjaga. Jantungnya tidak memelankan lajunya bahkan ketika dia mulai berjalan melintasi lorong. Aroma antiseptik yang steril memenuhi hidung membuatnya semakin takut saja. Napasnya tersengal sementara keringat dingin mulai menyembul di tengkuk. Meski dia sudah meyakinkan diri sendiri kalau dirinya melakukan hal yang benar, tetapi dia tidak bisa menghilangkan perasaan cemas yang membebaninya sejak tadi. Saat berjalan menuju ruang rehabilitasi, Skyla mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk. Ia tahu bahwa Ines tidak akan senang melihatnya, tetapi dia akan tetap mendatangi gadis itu. Semua ini demi dirinya sendiri.

"Kamu sudah melakukan hal yang benar, Sky. Jangan ragu dan hadapi semuanya," katanya sambil meremas buket bunga kecil yang tadi dibelinya di jalan.

Saat ia memasuki ruangan, Skyla melihat Ines duduk di kursi rodanya. Gadis itu kini duduk di depan kaca dan matanya terpejam seolah-olah sedang berpikir keras. Kecuali kakinya yang cacat, Ines masih secantik sebelumnya.

"Ines!" kata Skyla ragu-ragu, mendekati saudari tirinya. "Hai!"

Ines membuka matanya dan menatap Skyla. "Apa yang kamu lakukan di sini?" desisnya. Suaranya juga penuh dengan kemarahan.

"Ini untukmu" katanya sambil menyerahkan buket bunga kecil yang tadi dibawanya.

Ines menatap Skyla sejenak, ekspresinya tak terbaca. Lalu, dengan gerakan tiba-tiba, ia mengulurkan tangan dan merebut bunga-bunga itu dari tangan Skyla.

"Apa yang kamu lakukan?" tanya Skyla, suaranya meninggi karena terkejut.

Namun sebelum Skyla sempat berkata apa-apa lagi, Ines telah meremas dan menghancurkan bunga-bunga di tangannya, kelopak-kelopak bunga itu berjatuhan ke tanah seperti confetti. Sepertinya Ines memang tidak memiliki keinginan untuk berdamai atau menyesali apa pun yang sudah terjadi di antara mereka. Skyla menarik napas berat. Dia sudah mengantisipasi sikap Ines, tetapi melihat tingkahnya tetap membuatnya sedikit kaget.

"Kamu menyedihkan, Skyla!" kata Ines ketus. "Kamu selalu menyedihkan. Kamu datang ke sini berpura-pura peduli, tapi yang kamu inginkan hanyalah membuat dirimu merasa lebih baik. Kamu pembohong dan penipu."

My Boyfriend For TodayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang