A Jar of Sincerity (1)

440 50 8
                                    

Kalau ketulusan bisa dibeli maka perasaan itu pasti ada di etalase tertinggi dan di list harga paling mahal. Skyla bahkan yakin kalau perasaan dikategorikan layaknya brand perhiasan mewah maka ketulusan mungkin ada di kelas Harry Winston. Dirinya angkuh kalau mengaku memiliki ketulusan yang besar, tetapi Skyla cukup yakin kalau dia sudah mencoba memberikan yang terbaik untuk orang lain. Mungkin keinginannya untuk mendapatkan balasan yang sama itu juga membuat dirinya jadi tidak tulus. Hanya saja, apa salahnya jika seseorang berharap orang lain juga akan bersikap baik seperti caranya memperlakukan orang lain? Bukankah itu manusiawi?

Skyla mengesah pelan. Semua pertanyaan itu menumpuk di benaknya sejak kedatangannya ayahnya tadi pagi. Kadang Skyla heran, setiap orang yang datang menemuinya lebih sering untuk mengamuk, menghakimi atau mengaturnya. Tidak ada satupun dari mereka yang setidaknya bertanya apa dirinya baik-baik saja? Atau sekadar memberikan pelukan saja? Kedua hal itu rasanya tidak sulit untuk dilakukan, bukan?

"Kamu sakit? Atau debunya terlalu banyak?"

Skyla mendongak ketika mendengar seseorang berbicara di dekatnya. Gemma ternyata sudah berdiri di sampingnya. Perempuan itu tersenyum hingga kerut-kerut di matanya timbul.

"Ah, tidak. Aku enggak apa-apa, Gemma," katanya sambil menggeleng. Skyla juga mencoba untuk mengulum senyuman demi meyakinkan perempuan itu kalau dirinya memang baik-baik saja.

"Kalau kamu memang baik-baik saja, kenapa tidak menemaniku minum teh?"

"Eh?"

Perempuan itu tersenyum hangat. "Ayo, tehnya keburu dingin."

"Sepertinya aku tidak punya pilihan lain."

"Aku memang tidak memberi pilihan selain minum teh bersamaku, Sayang," ucapnya lagi. "Jadi, jangan buat perempuan tua ini menunggu lebih lama!"

Kata-kata Gemma barusan memupus semua penolakan yang mungkin bisa dia lontarkan. "Aku sangat tidak sopan kalau membuatmu menunggu, Gemma."

"Benar."

Skyla kemudian bangkit berdiri. Dia menepuk celemek yang melekat di tubuhnya agar debunya segera menghilang. Dia tidak ingin membuat Gemma batuk atau mengotori meja nanti. Dia kemudian mengekor di belakang perempuan itu dan ikut naik ke dapur untuk minum teh. Dia menurut saja saat Gemma memintanya duduk di depan secangkir teh yang masih mengepul.

"Minumlah, Sayang!" kata Gemma masih dengan senyuman di bibirnya.

Skyla menganggguk dan mengikuti permintaan Gemma. Dia menyesap teh yang masih hangat itu dan membiarkan cairan itu memenuhi rongga mulutnya sebelum akhirnya tertelan.

"Ini enak," gumamnya mencoba memberi pujian agar Gemma merasa dihargai.

"Benarkah?"

Skyla menanggapi dengan anggukan.

"Apa yang membuatmu berpikir kalau teh ini enak? Bisa jadi teh ini sama saja dengan yang kamu buat di rumah," tanya Gemma masih dengan suara yang ramah.

Pertanyaan itu jelas tidak bermaksud menginterogasi, tetapi mampu membuat Skyla gelagapan. Teh ini enak dan dia tidak menemukan alasan kenapa teh ini enak. Namun, satu gagasan muncul di benaknya.

"Karena Anda yang membuatnya, Gemma."

"Jadi, soal racikan tehnya?"

"Well—" Skyla berpikir sejenak, mulai ragu dengan jawabannya barusan. "Aku tidak tahu pasti, Gemma."

Awalnya Skyla pikir Gemma akan kecewa, tetapi ternyata perempuan itu hanya tertawa pelan. Ekspresi yang membuat Skyla mengerutkan kening lebih dalam.

"Bisa juga."

My Boyfriend For TodayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang