Bitter Truth

892 90 4
                                    


Pesan-pesan yang dikirimkan Skyla sudah dibaca, tetapi belum ada jawaban. Skyla sendiri memilih untuk menghabiskan waktu lebih lama di kafe aneh yang disinggahinya sejak satu jam lalu. Selama itu, tidak ada pengunjung yang masuk jadi dia bisa melewatkan waktu sendirian. Meski dia menyukai keadaan ini, tetapi rasanya kasihan juga kalau memikirkan pemilik tempat ini. Entah karena kafe ini memang berada di lokasi yang tidak mudah terlihat oleh pengunjung atau sajiannya tidak terlalu menarik. Padahal rasa kopinya enak, jadi bisa diambil kesimpulan kasar kalau barista Signum ini sudah berpengalaman.

Ah, lupakan soal kafe ini. Pemiliknya pasti memiliki pertimbangan soal ini dan dirinya hanya pengunjung yang kebetulan mampir saja. Jadi, rasanya tidak pantas kalau dirinya memberikan penilaian sok tahu pada hal yang baru diketahuinya. Ya, bahkan dua jam lalu, dia bahkan tidak tahu kalau kafe ini ada di dunia ini. Dia hanya perlu fokus pada masalah hidupnya yang sama sekali tidak mendekati titik terang.

Matanya kembali melirik ponselnya. Satu gagasan liar mendadak melintas dalam benaknya, bagaimana kalau ibunya tidak percaya padanya? Bagaimana kalau dia dituduh mengada-ada dan memfitnah Philip? Bagaimana kalau hubungan dengan ibunya yang sudah tidak baik malah makin memburuk?

Dia bisa berpendapat begitu mengingat ibunya bahkan tidak percaya ketika dirinya nyaris dilecehkan oleh Philip malam itu. Ketika ibunya sebuta itu hingga tidak bisa menerima kenyataan di depan mata maka tidak ada jaminan kalau perempuan ini akan menerima kejujuran dan niat baiknya.

"Kamu hanya perlu optimis, berani, berhati-hati dan bertekad kuat maka kurasa semuanya akan baik-baik saja."

Kata-kata yang diucapkan Hunter beberapa jam lalu terngiang di dalam pikirannya. Skyla mengepalkan tangan dan mengembuskan napas. Benar, dia hanya harus berani menerima konsekuensi dari apa pun tindakan yang sudah dilakukannya. Kalaupun tanggapan ibunya cukup jahat, itu sudah biasa. Seperti kata Hunter, semuanya akan baik-baik saja.e

Setelah merasa cukup menenangkan diri, Skyla bangkit berdiri dan berjalan ke kasir untuk membayar tagihan. Anehnya, barista itu juga yang melayani tagihannya. Pemuda itu menanyakan apa pun dan hanya melayaninya saja.

"Espresso," katanya.

"Untuk kejujuran yang pahit," sahut pemuda itu tiba-tiba.

"Mungkin."

"Padahal tidak selalu begitu," gumam pemuda itu dengan suara pelan.

"Apa?"

"Empat Pounds." Pemuda itu malah menyebutkan harga kopinya ketimbang menjawab pertanyaan Skyla.

"Oh, oke." Skyla mengangguk lalu mengeluarkan uang kertas senilai sepuluh pounds dan dan mengulurkannya pada pemuda itu. "Jadi, maksudnya apa tadi?"

Pemuda yang kini telah menerima uang pembayaran langsung menunduk, mungkin untuk mencari kembalian. "Slogan."

"Untuk espresso?"

"Di kafe ini."

"Oh, menarik," pujinya sembari mengedikkan bahu. "Bisa kamu jelaskan padaku?"

"Well, sama seperti espresso, kejujuran itu tidak selalu pahit sama seperti kebohongan itu belum tentu manis." Pemuda itu mengulurkan uang kembalian pada Skyla.

"Dan kenapa bisa begitu?"

"Karena tergantung dari cara pandang masing-masing orang."

"Semacam setiap manusia punya perspektif yang berbeda dalam menilai sesuatu?"

"Mungkin."

"Hmm, menarik." Skyla mengangguk beberapa kali. "Jadi, bagaimana cara membedakan dua jenis kejujuran ini menurut Signum?"

Pemuda bernama F itu menatap Skyla lekat-lekat. Meski begitu, tidak ada perubahan ekspresi di wajahnya yang terpahat sempurna hingga mirip patung itu.

"Kejujuran yang pahit adalah kejujuran yang harus diterima meski manusia tidak menginginkannya. Sedangkan kejujuran yang manis adalah ketika kamu mengharapkannya dan benar-benar terjadi."

"Bagian pahit ini semacam terkhianati ekspektasi, ya?"

"Semacam itu. Manusia kadang tidak mau menghadapi kenyataan dan memilih untuk menipu diri sendiri. Karena kebenaran itu kadangkala brutal hingga sulit untuk diterima. Makanya banyak orang mengabaikan kebenaran dan merengkuh kebohongan."

"Kenapa?"

"Apanya?"

"Kenapa manusia memilih memeluk kebohongan?"

"Karena kebohongan itu membuat mereka merasa lebih baik," tukas pemuda itu lagi.

"Begitukah?"

"Tidak selalu, tapi rata-rata begitu."

"Ah, aku paham. Kata-katamu ini terdengar seperti pengalaman pribadi."

"Bukan juga," elak pemuda itu. "Aku hanya tahu kalau tidak ada kejujuran dan kebaikan yang akan muncul dari kebohongan."

Skyla mengiyakan. Benar juga. Tidak ada kebaikan yang muncul dari kebohongan meski hanya dusta kecil sekalipun. Karena sebaik-baiknya kebohongan itu bukan kebenaran. Sayangnya, kebaikan yang datang kebohongan itu hanya kepalsuan. Tidak pernah benar-benar jadi baik atau semacamnya. Lalu, seburuk-buruknya kejujuran maka itulah kebenaran. Ah, ini terlalu rumit untuk dipikirkan. Dia juga tidak ingin memikirkannya lebih jauh.

"Lalu, ada enggak cara menerima kejujuran pahit dengan cara yang manis?" tanya Skyla akhirnya.

F melebarkan kelopak mata dan berdeham pelan. "Ini kafe bukan pusat konsultasi."

"Ah, maaf." Skyla terkekeh pelan. "Topiknya terlalu menarik."

"Bukan masalah. Selamat tinggal dan semoga harimu menyenangkan!"

Selamat tinggal katanya. Bukan jenis salam perpisahan dengan pelanggan yang umum dikatakan, biasanya kan semacam meminta agar pengunjung singgah kembali atau ucapan baik lainnya. Namun, Skyla tidak ingin memikirkannya lebih jauh.

"Terima kasih," ucap Skyla akhirnya. "Espressonya enak."

F hanya mengedikkan bahu, tanpa jawaban apa pun, tanpa ucapan terima kasih. Namun, Skyla sempat melihat sudut bibir pemuda itu terangkat sedikit. Mungkin F terlalu malu untuk tersenyum secara terang-terangan.

Skyla mendorong pintu hingga terbuka. Dia menoleh sekali lagi sebelum melangkahkan tungkainya menuju halte bus terdekat. Dia baru saja berjalan beberapa langkah ketika ponsel di saku celananya bergetar pelan. Skyla menarik gawainya dan mengamati layarnya. Satu nama mengambang di layar. Nama yang ditunggunya sejak tadi. Langkahnya terhenti ketika jemarinya menekan pesan singkat yang dkirimkan itu. Dia mulai membaca deretan kalimat di layar ponselnya sambil menarik napas pelan.

"Ibu sudah pernah bilang, Sky. Pergi dari hidupku dan jangan campuri urusanku."

Ah, balasan pesan ini seperti dugaannya. Meski begitu, debaran jantungnya tetap menanjak naik dan bibirnya berkedut pelan. Jemarinya juga mulai gemetar. Dia tidak mengharapkan ucapan terima kasih atau semacamnya, tetapi setidaknya bukan kata-kata jahat semacam ini.

Harapan lalu kenyataan, huft bagian ini mengingatkannya pada obrolan dengan barista Signum beberapa saat lalu. Balasan pesan dari ibunya merupakan kejujuran yang pahit karena dirinya menginginkan yang lain. Dia ingin ibunya tidak sejahat ini padanya. Skyla menggigit bibir, itu harapannya. Namun, dia tidak ingin merengkuh dusta dan harapan kosong lain. Ini kenyataan yang harus dia terima sejak awal. Dirinya tidak bisa menyenangkan semua orang. Terlepas dari apa pun hasilnya, dia hanya berusaha untuk berbuat baik. Skyla menarik napas pelan dan mengembuskannya lagi. Dia kemudian memilih untuk menutup aplikasi perpesanan dan melanjutkan perjalanan. Mencoba mengabaikan kenyataan kalau hari ini dia pernah melihat Philip dan melupakan kata-kata jahat ibunya. Mungkin benar kata barista tadi, dia hanya perlu menerima kejujuran pahit dengan cara yang manis.


Note:

Bagian ini mungkin agak membingungkan, aku sendiri pun bingung pas baca ulang T-T...nulis apa coba XD. Jadi, kalau ada yang bikin bingung, tanyakan saja ya, manteman ^^

My Boyfriend For TodayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang