Caught in The Act

2.5K 258 3
                                    


Skyla menuruni anak tangga dengan sedikit senyum. Ayahnya hanya mengangkat wajahnya sedikit dari koran pagi yang kini ada di tangannya, sementara Marlene mungkin sibuk di dapur bersama putri tersayangnya atau sedang melewatkan pagi dengan berlari menyusuri jalanan kompleks. Aroma kopi menguar dari cangkir yang masih mengepul di depan ayahnya. Dia tidak ingin memerhatikan semua itu dan buru-buru berjalan keluar menuju pintu.

"Mau ke mana pagi-pagi begini?" Suara itu membuatnya urung memegang handle pintu dan memutarnya.

"Lari pagi sebentar," sambungnya cepat.

"Seharusnya kau bantu ibumu di dapur selagi Ines belum bangun."

"Putri tersayang Ayah belum bangun, luar biasa!" ketusnya nyaris ingin bertepuk tangan.

"Masih pagi untuk memulai pertengkaran, Sky!

"Siapa juga yang mau berantem?" Skyla mendengus sebal.

"Biarkan saja Skyla menghirup udara pagi, sayang." Marlene menyunggingkan senyuman ketika menatap Skyla. Wanita itu kini menaruh piring berisi waffle yang berlumuran selai cokelat di samping cangkir kopi.

Mulai lagi, sok keibuan! Sok bijaksana!

"Enggak usah ikut campur!" ketus Skyla.

"Bukan ikut campur tapi—"

Skyla langsung memalinngkan wajah buru-buru memutar kenop pintu dan mendorong tubuhnya keluar. Dia masih mendengar ayahnya memanggil namanya dengan nada tinggi dan penuh amarah, akan tetapi Skyla sama sekali tidak peduli. Dia hanya keluar sekarang juga dan menemui Nathan. Tidak ada balasan dari pemuda itu sejak semalam jadi dia akan langsung ke sana.

Napasnya menderu menyambut udara pagi, dia merapatkan mantel lalu melangkah menuruni anak tangga kayu yang ada di depan teras rumahnya. Gadis itu mengeluarkan sepeda dari garasi lalu mulai mengayuh. Saat kakinya mulai mengayuh pedal sepeda, pikirannya kembali melayang. Mungkin benar kalau ayahnya bilang dia sombong, arogan atau pembangkang. Dia memang lebih banyak membantah ayahnya semenjak Marlene masuk ke rumah dan menjadi ibu yang baik. Makin tidak ingin menyibukkan diri dengan parodi keluarganya saat Marlene membanggakan semua pencapaian Ines di sekolah. Ayahnya juga membandingkannya dengan Ines setiap waktu. Pria tidak pernah berhenti bahkan saat dia mengatakan kalau daun telinganya sudah sangat lelah mendengar suara. Ya, mungkin dia hanya boleh bernapas tanpa sekali pun bersuara. Mendengarkan dalam diam lalu ikut bertepuk tangan serta menelan dalam-dalam semua kekecewaan.

Dia memang tidak berprestasi, kalaupun dia memiliki bakat lebih di sekolah rasanya bakatnya hanyalah mengasingkan diri. Meskipun pada akhirnya dia berhasil masuk ke universitas idamannya, Ines juga masuk ke sana juga. Gadis menyebalkan itu bahkan ada di jurusan yang sama dengannya dan Nathan. Jadi tidak akan pernah ada pengakuan untuknya karena dia juga bukan Ines. Marlene tidak akan mengakui apa pun. Wanita itu terlalu pelit padanya saat dia bahkan siap memberi tepuk tangan saat Ines mengeluarkan kentut ketika demam tinggi menyerang.

Tidak ada yang bisa dibanggakan selain dia memiliki kekasih yang selalu menemaninya saat terpuruk. Dia punya Nathan, jadi dia sama sekali tidak iri kalau Ines terlalu populer hingga kebingungan untuk memilih salah satu cowok di sekolah untuk dipacari. Tapi, kenapa Ines masih juga menginginkan Nathan?

Jemarinya meremas handgrip kuat-kuat saat memikirkan soal ciuman kemarin. Bisa-bisanya Ines melakukan itu padanya. Benar, semua ini hanya dilakukan oleh Ines seorang karena pemuda kemarin belum tentu Nathan. Lagi pula, Nathan-nya tidak akan pernah berkhianat dan melakukan hal semacam itu di belakangnya. Berbekal keyakinan ini, Skyla mengayuh sepedanya lebih cepat. Dia benar-benar tidak sabar untuk bertemu Nathan.

Jantungnya berdebar kencang dan bibirnya menenun senyuman kala rumah Nathan mulai terlihat dari kejauhan. Tidak membutuhkan waktu lama sampai dia mencapai rumah itu. Skyla langsung memarkir sepeda di depan rumah lalu menaiki anak tangga menuju teras. Sebelum mengetuk pintu, dia mengatur napas terlebih dahulu. Pintu kaca itu berderit membuka setelah tiga kali ketukan.

"Skyla?"

"Iya," sahut Skyla sambil mencoba untuk menenun senyuman di bibirnya meski napasnya masih memburu.

Wanita itu mengerutkan kening sejenak lalu mengangguk. "Kamu belum sarapan, kan? Ayo, kita sarapan dulu!"

"Belum. Terima kasih banyak," sahut Skyla sambil ikut bergerak masuk saat wanita itu menjulurkan lengan.

"Nate! Ada pacarmu!" Wanita itu bersuara kala sudah mendekati ruangan yang berfungsi sebagai dapur sekaligus menaruh meja makan.

Teriakan wanita itu membuat Skyla tersenyum sendiri, benar-benar senang saat ibu Nathan menyebutnya sebagai pacar. Jantungnya berdebar-debar saat terdengar suara langkah kaki yang semakin mendekat. Bibirnya mengembang, itu jelas langkah kaki Nathan. Pemuda itu muncul dari ruangan makan dengan kening berkerut.

"Pacar apa? Pacarku ada di—" Nathan juga berhenti berbicara dan menatap Skyla. "Hai Sky!"

"Hai, Nate!" Skyla mencoba memasang senyuman termanisnya. Rasanya bongkahan beban yang sejak kemarin menimpa dadanya langsung menghilang saat melihat pemuda itu. Mungkin semua ini hanya prasangka buruknya saja.

"Lho kamu sudah turun?" Wanita itu gantian bertanya. "Kalau begitu ayo kita langsung sarapan!"

"Tapi—"

"Tapi apa, Nate?" potongnya ibunya cepat.

"Bukan apa-apa," sahut Nathan lirih hingga suaranya nyaris tidak terdengar,

"Nah, ayo!"

Skyla mengangguk lalu mengikuti langkah kaki wanita itu masuk ke ruang makan. Namun, ketika mencapai ambang pintu, langkah Skyla langsung berhenti. Matanya membola seketika saat menemukan sosok di depan meja dan tengah sibuk mencolek saus dengan roti kering di tangannya. Gadis itu memakai baju pria dan agak kebesaran di badannya. Namun, dia tidak akan salah mengenali. Gadis itu adalah Ines, saudari tirinya. Ines mendongak hingga tatapan mereka bertemu. Namun, berbeda dengan Skyla yang mati-matian menahan air mata, gadis itu memiringkan kepala dengan senyuman tipis menenun bibirnya. Sikap santai Ines ini seolah-olah dia sudah memperkirakan kedatangan Skyla pagi ini atau memang gadis itu memang sudah siap dengan segala hal yang bakal terjadi saat memilih merenut pacar saudaranya sendiri.

"Lho gadis itu siapa?" tanya Ibu Nathan yang ikut-ikutan berhenti di samping Skyla. Sepertinya juga sama kagetnya saat melihat Ines di meja makan.

Tangan Skyla mengepal sementara jantungnya berdebar di dalam dada. Sekarang matanya beralih menatap Nathan, menuntut penjelasan akan semua ini. Bagaimana bisa Ines ada di meja makan dan melewatkan pagi bersama Nathan? Kalau begitu ciuman kemarin sore itu benar-benar terjadi? Semua itu bukan mimpi. Bagaimana bisa ini terjadi padanya dua hari berturut-turut?

"Ada penjelasan untuk ini kan, Nate?" Suaranya terbata menahan air mata yang hampir terjatuh. Skyla menggigit bibirnya keras-keras.

"Oke, aku jelasin, tapi enggak di sini." Nathan dengan cepat menimpali.

"Kenapa tidak di sini saja?" tuntutnya.

"Kita bicara di luar!" katanya sambil menarik lengan Skyla.

"Di sini saja!"

"Kita keluar, Sky!" Nathan langsung memerintah dan menarik pergelangan tangan Skyla.

Skyla hanya bisa mengikuti langkah kaki Nathan yang panjang saat pemuda itu menariknya keluar. Jantungnya berdebar lebih kencang dari sebelumnya, firasatnya mengatakan kalau semua ini bukan pertanda baik karena mata kelam Nathan sepertinya sedang sibuk menyembunyikan badai. Selain itu, cengkeraman di tangannya menyiratkan kalau pemuda itu sedang marah besar.

My Boyfriend For TodayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang